
MoMMee.org – Hari ini 21 Juni 2014 saya ke Gedung WAMY Jagakarsa, untuk menghadiri acara yang diselenggarakan Markaz Qur’an Utrujah yang dibina oleh Ustadzah Sarmini—penulis buku Alhamdulillah Balitaku Khatam Qur’an. Saya datang ketika sesi Ustadzah Sarmini dan para wisudawati hafal (hafidz) Qur’an yang menyampaikan pengalamannya berada di Utrujah. Ustadzah Sarmini mengungkapkan pengantar dalam bahasa Arab untuk lebih tepat membahasakan kegembiraannya dan rasa haru kepada para santri. Kebanggaan beliau terhadap para santri dan merasakan keberkahan bahwa anak-anak adalah harta termahal yang bisa membuka pintu surga bagi orang tuanya. Wisuda diibaratkan seperti misk (aroma harum campuran minuman di surga bagian akhirnya-ampas, baunya harum dan rasanya enak). Hal ini sesuai dengan filosofi buah utrujah (baunya harum dan rasanya enak).
Gambaran aktivitas di Utrujah terdiri dari dua kelas: 1) kelas mandiri: yaitu anak-anak yang sudah siap menghafal dengan latihan sendiri 1-10 halaman, dan menyetor 1 halaman dengan motivasi bukan target; 2) kelas mentoring: menghafal dengan cara dibimbing, talaqi. Syarat utama masuk Utrujah adalah: 1) bisa membaca tajwid, dan 2) pernah khatam al-Qur’an minimal 1 kali. Tata tertib disesuaikan dengan akhlaq dalam al-Qur’an. Di dalam rumah tidak berlari, tidak teriak, disiplin dalam menjaga akhlaq dan kebersihan. Kelas regular dimulai pukul 05.30 – 11.30. Waktu sore untuk muraja’ah, malam persiapan. Waktu yang dijadwalkan adalah 16 jam per hari untuk menghafal al-Qur’an, seperti atlet di Pelatnas. Santri juga ditugaskan piket harian pekerjaan dalam rumah.
Beberapa peserta santri dipanggil ke depan untuk menceritakan pengalaman dan testimoninya, mereka adalah:
- Ibu Ayu, ibu rumah tangga memiliki 3 anak asal Kalimantan. Beliau meninggalkan keluarga selama 40 hari. Baginya hidden curriculum lebih banyak dirasakan dari sekadar menghafalkan al-Qur’an. Dalam mempertahankan hafalan ketika down kembalikan kepada Allah, tawaqal, sholat, introspeksi diri, dan jangan terlalu pede, namun juga jangan khawatir berlebihan. Selepas dari Utrujah dan kembali ke Kalimantan akan mencari komunitas yang sama untuk menjaga hafalan, di samping juga terus meminta kepada Allah. Ia merasakan bahwa Al-Qur’an itu mukjizat, sehingga interaksi kita dengan al-Qur’an bisa dilakukan asal memiliki kecerdasan, kemauan, dan kesempatan.
- Ibu Afni. Awalnya hanya mendorong anaknya saja, tapi di tengah jalan ikut juga. Ia mengulang-ngulang hafalan selama 13 hari. Ia belajar dari sejarah para ulama besar yang diakui dunia berawal dari al-Qur’an. Kematangan mental bisa melebihi kematangan biologis. Bisa hidup yang tumbuh dan ‘berbuah’.
- Asma, pelajar lulusan SMP 15 tahun asal Jakarta. Ia menunda 1 tahun tidak langsung melanjutkan ke jenjang SMA karena ingin menghafalkan al-Qur’an terlebih dahulu. Ia berhasil hafal 30 juz selama 10 bulan sejak Juli 2013 – April 2014
Beberapa orang tua santri juga diminta menyampaikan testimoni, mereka adalah:
- Bapak… (ayah dari ananda Hikmah), asal Surabaya. Awalnya ia merasa seperti mimpi, karena dia keluarga biasa saja yang dalam keluarganya tidak ada garis keturunan seorang hafal Qur’an. Tapi karena sangat menyadari bahwa hidup hanya sebentar sehingga harus ada lompatan-lompatan yang bisa mengejar ketertinggalan ibadah maka ia menaruh harapan pada anaknya. Untuk masuk pesantren sudah disosialisasikan sejak ananda kelas 2 SD dan berhasil hafal 2 juz al-Qur’an. Kemudian masuk SMP Sidoarjo hanya bertambah ½ juz hafalan. Tetapi ketika masuk Utrujah langsung bisa merampungkan 30 juz. Hal yang patut diperhatikan adalah komunikasi intensif antara orang tua santri dan Ustadzah Sarmini.
- Ibunda Yasmin, asal Gresik seorang dokter spesialis mata. Mirip dengan penuturan ayah Hikmah, dalam keluarga ibu ini juga tidak ada nasab hafidz, tidak ada latar belakang pendidikan pesantren. Namun ia berusaha untuk memasukkan anak ke-5 nya usia kelas 3 SD ke Utrujah, yang kini sudah berhasil hafal 30 juz.
Dari gambaran tersebut proses menghafal al-Qur’an yang diadakan oleh Utrujah sangat dipengaruhi dengan kedisiplinan terhadap jadwal dan tekad yang kuat untuk menjalankannya. Bukan saja bagi anak-anak, namun para ibu juga bisa melakukannya dengan ikut serta ‘mondok’ di Utrujah tentunya dengan kesepakatan dengan suami dan anak-anak yang kondusif ketika ditinggalkan sementara. Hal yang perlu juga diperhatikan adalah bagaimana para wisudawati ini bisa mempertahankan hafalan al-Qur’an, beberapa cara yang dilakukan antara lain dengan mencari komunitas sesuai untuk senantiasa berlomba dalam kebaikan dan menjaga hafalannya. Allahummarhamni bil Qur’an…(*)