
MoMMee.org – Akhir akhir ini sering muncul berbagai pembahasan, baik dengan tema Masjid Ramah Anak maupun tema Petuah Penakluk Konstantinopel, Muhammad Alfatih. Keduanya tidak berseberangan sama sekali. Seorang ibu -saya diantaranya, seringkali ingin mendekatkan anak dengan Allah melalui pengenalan konsep masjid sebagai awalan. Hmm,, namun tak mudah, terutama bagi ibu dengan anak balita yang sedang aktif aktifnya (yang sebelum tidur pun harus koprol dulu).
Bagaimana pengalaman saya selama ini ketika membawa anak ke masjid? Alhamdulillah di satu waktu ia mengikuti gerakan sholat,, namun berlanjut ke melewati orang sholat (hiks) dan di waktu lainnya (lebih sering) berlari larian riang gembira di sekeliling masjid.
Bahkan seorang anak lainnya pernah berteriak setelah imam membaca alfatihah,, “SEMUA BILANG APAAA??” ‘dijawab’ “AAAMIIIIN”. Ya, beragam karakter anak, terutama untuk anak yang aktif, butuh tenaga ekstra, dan yang pasti tidak bisa ditinggal.. karena bisa kabur keluar masjid! hehe..
Kegundahan saya ini akhirnya terjawab dalam suatu pembahasan yang ringan dan mudah dicerna, yang disampaikan oleh seorang alumni senior Psikologi UI, A. Basari. Berikut ulasannya.
Masalah membawa anak (balita) ke masjd untuk sholat berjama’ah bagi para ahli fiqh adalah khilafiyah. Apalagi kalo yang membahas ini adalah seorang ahli tafsir hadits, bisa seharian bahasnya :).
Bagi saya, yang lebih menarik adalah mempelajari alasan sebagian ulama yang membolehkan dan alasan sebagian lagi yang melarang.
Pertama adalah batasan usia anak. Menurut sebagian ahli tafsir hadits, Hasan dan Husain ikut Rasulullah (yang sampai naik punggung) itu saat masih balita (di bawah 5 tahun). Sedangkan yang suka berisik di masjid berlari-larian (terutama saat shalat magrib berjama’ah) sudah usia TK/ sekolah.
Dari Syaddad Al-Laitsi radhiyallahuanhu berkata,”Rasulullah SAW keluar untuk shalat di siang hari entah dzhuhur atau ashar, sambil menggendong salah satu cucu beliau, entah Hasan atau Husain. Ketika sujud, beliau melakukannya panjang sekali. Lalu aku mengangkat kepalaku, ternyata ada anak kecil berada di atas punggung beliau SAW. Maka Aku kembali sujud. Ketika Rasulullah SAW telah selesai shalat, orang-orang bertanya,”Ya Rasulullah, Anda sujud lama sekali hingga kami mengira sesuatu telah terjadi atau turun wahyu”. Beliau SAW menjawab,”Semua itu tidak terjadi, tetapi anakku (cucuku) ini menunggangi aku, dan aku tidak ingin terburu-buru agar dia puas bermain. (HR. Ahmad, An-Nasai dan Al-Hakim)
Menurut ahli Hadits, Rasulullah hanya sekali-kalinya itu membawa cucunya yang balita berjama’ah di masjid. Setelah itu dan sebelumnya tidak dan ditafsirkan ini terjadi karena di rumah sedang tidak ada orang (Ali dan Fatimah sedang tidak di rumah). (Dalam riwayat lain dikisahkan juga saat Rasulullah membawa cucunya, Umamah binti Abil-Ash, Putri dari Zainab)
Jadi, kalo anak sudah usia sekolah (di atas 5 tahun) mestinya di-ignore dari khilafiyah ini. Karena walaupun belum aqil baligh namun sudah bisa dibilangin. Artinya, lebih utama untuk diajak berjama’ah. Haditsnya nyambung dengan perintah menyuruh sholat ketika 7 tahun. Nah kalo sudah 6 atau 7 tahun bahkan lebih, lalu berisik dan lari-larian di masjid, maka yang salah ortunya karena ga ikut ke masjid.
SHAF SHALAT ANAK-ANAK
Mengenai posisi shaf anak dalam jama’ah sudah cukup jelas, sebaiknya di belakang jama’ah, agar tidak putus shafnya. Kalau yang ini sepertinya bukan khilafiyah. posisi shaff anak memang di belakang. Kalau dalam jama’ah ada anak di shaf depan kemudian yang dewasa nyusul di belakang, ya salah yang dewasa kenapa datangnya telat..hehe..
Lalu muncul pertanyaan, jika shaf anak di belakang, bagaimana jika anak kabur atau (pahit pahitnya) hilang? Yang ini pendapat saya pribadi ya, yang pertama saya belum menemukan hadits bahwa anak posisinya nyempil di tengah tengah shaf dewasa. Kedua, di sini istimewanya Islam dalam kacamata Psikologi.
Kemungkinan anak kabur justru membuka ruang kita sebagai orang tua dalam mendidik:
- Bagaimana mengajarkan disiplin yaitu tidak keluar barisan sebelum selesai
- Tidak berbohong, ketika ditanya mengaku dengan jujur kalo tadi kabur)
- Bertanggung jawab (kalo kabur konsekuensinya apa?).
Belum lagi dari sisi si anak, ada banyak dinamika psikologis yang terjadi. Menurut saya ini realitas, ada kalanya sang anak yang takut berbaris di shaf belakang karena khawatir ayahnya hilang. Hal ini utamanya terjadi saat awal awal diajak sholat berjamaah, atau saat berjama’ah shalat Maghrib di Masjid Istiqlal (kebayang kan ramenya).
Kembali ke prinsip di atas tadi, bahwa apabila anak sudah mumayyiz (sudah mengerti), maka silahkan memperlakukan anak sebagai orang dewasa dalam penempatan shaf, walaupun ia belum baligh. Artinya, sang anak pasti gak berisik, gak lari-lari dan mengikuti gerakan dan bacaan shalat sebagaimana orang dewasa.
Nyambung lagi dengan hadits perintah shalat ketika berusia 7 tahun:
Perintahkan kepada anak-anakmu untuk shalat ketika mereka menginjak usia tujuh tahun. Dan pukullah mereka ketika menginjak sepuluh tahun. Pisahkan tempat tidur mereka. (HR. Al-Hakim dan Abu Daud)
Kalo ada orang yang merasa lebih berhak di shaf depan (karena lebih alim, lebih tua, dsb) tapi ga kebagian shaf depan (sementara di shaf depan ada anak-anak), ya salahnya sendiri kenapa terlambat datang.
Demikianlah sedikir pembahasan ringan dari A. Basari, mengenai membawa anak balita shalat ke masjid. Semoga kita dapat menjadi bunda bijak nan sabar untuk membawa anak ke masjid saat sudah tiba waktunya, atau terpenuhi persyaratannya *carikaca. Sabar nanda, sabar bunda, nanti kita ke masjid ya,,
P.S: Sumber bacaan yang direkomendasikan: http://rumahfiqih.com/x.php?id=1411317628&=mengapa-anak-usia-di-bawah-tujuh-tahun-belum-dianjurkan-diajak-ke-masjid.htm
dipublikasikan pula di: https://ummu9hazi.wordpress.com/2016/04/04/membawa-balitaku-ke-masjid/