
MoMMee.org – Hampir semua ibu menyusui mengalami hal yang sama dalam proses menyusui. Dimulai dari hisapan pertama bayi, ASI yang belum terlalu banyak, beberapa hari kemudian menjadi berlimpah hingga membasahi baju, hingga kemudian produksi ASI yang perlahan menyesuaikan kebutuhan bayi. Kendala yang dihadapi pun hamper sama, pembengkakan pada awal masa menyusui yang disertai demam, juga putting yang lecet karena gigitan bayi yang mulai gemas akan giginya yang berangsur muncul ke permukaan. Tetapi ada hal berbeda yang saya alami selepas berpisah selama 16 hari dengan bayi saya, ASI yang berhenti keluar!
Secara teknis, pengosongan payudara yang tidak sempurna menyebabkan otak mengatur hormon prolaktin untuk semakin hari semakin mengurangi produksi ASI karena dianggap kebutuhan ASI semakin berkurang. Seminggu pertama, peristiwa payudara penuh dan mengeras masih terjadi. Namun, pengosongan payudara dengan meggunakan pompa ASI berbeda dengan hisapan bayi, hal inilah yang menjadi pemicu awal berkurangnya produksi ASI. Lima hari kemudian, pengisian payudara menurun drastis dan yang terjadi hanya LDR (let down reflex) yang tidak seberapa mengisi ruang payudara. Dua hari selanjutnya sebelum kepulangan saya, LDRpun sudah tidak ada. Hal ini bisa diartikan bahwa ASI sudah tidak diproduksi lagi.
Peristiwa ini tentu membuat khawatir dan stress, kondisi yang justru sangat tidak diharapkan hadir dalam situasi seperti ini karena dapat semakin mempersulit ASI diproduksi kembali. Belum lagi bayi saya sempat menyicipi susu formula karena stok ASI yang ditinggalkan sudah habis. Namun saya masih optimis bisa menyusui kembali dengan bantuan hisapan bayi saya ketika bertemu nanti.
Akhirnya sayapun kembali menyusui, kembali dari nol. Saya berusaha keras untuk mensugesti bahwa ASI akan segera hadir kembali seiring dengan hisapan bayi, namun ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Bayi saya yang sudah berusia 5 bulan tentu berbeda dengan bayi yang baru lahir yang bisa bertahan 3 hari tanpa asupan ASI. Bayi usia 5 bulan memiliki kebutuhan yang jauh lebih besar, sekitar 125 sampai 150 ml susu perkilogram berat badan perharinya, dan saya tidak bisa memenuhi itu sama sekali. Bayi usia 5 bulanpun sudah bisa memberikan respon penolakan dan ekspresi ketidakpuasan yang tentunya membuat para ibu tidak tega, tetapi dengan sedikit paksaan bayi saya mulai mau menyusui meskipun hanya 5 tetes yang keluar.
Setelah berkonsultasi dengan pakar laktasi via whatsapp (special thanks to dr. Viranda) dan browsing di internet, ternyata ada yang namanya proses relaktasi, yaitu proses mengembalikannya kegiatan menyusui yang pastinya ditandai dengan kembalinya ASI diproduksi. Proses ini membutuhkan upaya yang keras dan serius dari sang ibu. Beberapa langkah dari proses relaktasi ini antara lain, intensitas hisapan bayi yang rutin dan lama, sekitar 2 jam sekali selama 30 menit, meninggalkan dot (karena akan membuat bingung putting), menghindari susu formula dan diutamakan ASIP jika ada (karena susu formula lebih enak daripada ASI dan bayi semakin malas menyusui), menggunakan suplementasi bagi bayi (yaitu menggunakan ASIP yang ditampung dalam kantong dan dialirkan menggunakan selang yang ditempelkan ke putting payudara ibu, sehingga meskipun ASI dari payudara tidak ada, bayi tetap pendapatkan ASI dan tetap menghisap payudara, lebih lengkapnya tentang suplementasi ASI di http://mamanyaleon.blogspot.com/2014/06/suplementasi-relaktasi.html?m=1 ), serta mengonsumsi obat pelancar ASI (dengan resep dokter) untuk mempercepat produksi ASI (tentunya dengan asupan gizi dan air yang adekuat juga). Proses ini juga membutuhkan kesabaran dan pengaturan psikologi yang ekstra, karena butuh waktu yang cukup lama untuk mendapatkan payudara terisi kembali dan momen LDR yang dirindukan para bayi.
Sekitar seminggu saya melakukan proses relaktasi yang tidak sempurna, mengapa? Karena saya masih menggunakan susu formula berhubung ASIP sudah habis dan tidak mendapatkan donor ASIP, serta tidak menggunakan alat suplementasi bayi alias masih menggunaka dot. Namun, hisapan bayi yang intens (sangat sering dan jangan tunggu sampai bayi lapar) memegang peranan yang sangat penting dalam proses ini berjalan dengan lancar sehingga ASI saya pun berangsur-angsur kembali diproduksi. Seminggu ASI saya masih berdampingan dengan susu formula untuk mengenyangkan perut si kecil disela-sela tangisan kesalnya. Beruntung suami (thanks to Abi) dan seluruh keluargapun turut memberikan support dan meyakinkan bahwa saya bisa menyusui kembali.
Setelah seminggu berlalu, berlalu pulalah drama bangun dimalam hari untuk menyeduh susu formula. Saya dan bayi saya bisa kembali merasakan momen yang begitu indah dan penuh kehangatan tanpa kehadiran dot diantara kami. Senyuman puas dari si malaikat kecilpun kembali seiring kembalinya LDR saat menyusui dan tentunya senyuman sang Abi yang fanatic ASI dan anti dot, hihi.. Ayah ASI ceritanya.
Untuk saya ini adalah pelajaran berharga dan pengalaman luar biasa, perjuangan memenuhi kewajiban sebagai ibu dan hak anak akan kebutuhan jasmani dan psikologinya. Semoga menjadi inspirasi bagi para ibu dan calon ibu agar mempersiapkan segala sesuatunya sebelum bepergian meninggalkan buah hati dalam waktu yang cukup lama.(*)
Oleh: Nina Anggita, S.Gz