
MoMMee.org – Edisi main bareng Anak #2.
“Kapan ya, anak-anak mulai bisa asik main sendiri?” Yang sering muncul pertanyaan macam ini di kepalanya silahkan ngacung 😄
Bukan keberadaan mereka tak nikmat. Hanya saja, bagi IRT yang sepenuh hari berkhidmat di rumah, yang sejak mata membuka hingga menutup kembali tak bisa lepas dari riuh rendahnya suara anak-anak, waktu selalu saja terasa lebih lambat. Bahkan sekedar bersepi-sepi di kamar mandi pun tak juga bisa lepas dari panggilan dan tangisan mereka. Boleh jadi dimata seorang anak ibu adalah superwomen yang tak pernah lapar, mengantuk ataupun berhajat. Seringkali pertanyaan di atas muncul ketika penat muncul dan ingin mengambil rehat sejenak.
Namun, belum juga sempat menghitung sudah berapa lama waktu yang telah lewat tetiba datang masanya. Momen bermain dengan teman menjadi lebih mengasyikkan dibanding bersama ibu. Waktu ketika bercakap dan berlomba dengan sebayanya lebih mampu menggugah semangat mereka. Saat itu ketika jagoan kita bukan bayi lagi, wahai ibu kita tak lagi ‘laku’! 😭😆😂
Tentu bukan berarti mereka lupa. Tetap saja kita yang dipanggil ketika tak mampu menemukan mainannya, atau ketika sedih hatinya bertengkar dengan karibnya. Masa “ketika ibu tak laku” ternyata tak se-menyenangkan yang saya duga. Karena kebersamaan lenyapnya sosok bayi kecil kami, berganti dengan sosok yang dulu lelap tersembunyi. Sosok yang lahir ketika ia mulai mengakrabi dunia karib dan sebayanya. Tantangan demi tantangan muncul, melatih ibu untuk mengajarkan seni berbagi, menahan ego diri. Mengajarkan mereka berargumentasi tanpa lupa akan adab yang menyertai. Juga bagaimana mampu melindungi diri tanpa perlu menyakiti. Pelik! Walaupun nyaris sebagian besar polahnya sulit diterima. Tak bisa tidak untuk menginsyafinya sebagai bagian tumbuh kembang alami jiwa kanak-kanaknya.
Tetap perlu disadari, alami tak selalu berarti terpuji. Sebab demikian Allah ciptakan berdampingan dalam jiwa manusia, fitrah kebaikan dan keburukan. “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaannya” (Q.S. Asy Syams :8) Maka tak seperti yang saya sebelumnya yakini, bahwa ketika mereka mandiri serta merta saya bisa meni-pedi sembari ongkang-ongkang kaki. Masa bermain mereka justru menghajatkan hadirnya kontrol yang lebih ketat, mata yang lebih awas, hati yang peka merasa, dan tangan yang tak kunjung lelah berdoa; agar di masa ini, yang sudah baik dapat terus dipupuk terawat, dan diharap menjelma menjadi akhlak yang menyejukkan mata. Ketika perilaku tak sesuai adab, dapat diluruskan agar kembali pada fitrah baiknya, dipangkas agar tak mengakar dan dibawanya hingga dewasa.
Alhamdulillah ‘ala kulli hal. Walaupun tiap menit yang berlalu tidaklah mudah. Rezeki untuk mendampingi mereka di rumah berarti memanfatkan tiap momen untuk belajar Awal kali menyaksikan anak-anak berebut mainan, baik dengan saudara maupun dengan tetangga, ingin rasanya ‘memaksanya’ berbagi. Atau malah mencarikan mainan yang sama agar perebutan itu terhenti. Tapi jika demikian, hanya sikap mudah kalah yang saya tanamkan. Merekapun kehilangan kesempatan berjuang, mempertahankan apa yang menjadi miliknya.
Di sisi lain, jika hanya diajarkan mempertahankan miliknya tanpa pernah dikenalkan tentang berbagi, akan menguat sosok yang mementingkan diri sendiri. Maka perlahan ia perlu belajar, bahwa untuk sebuah kebersamaan ada ego yang perlu ditahan. Bahwa dengan berbagi ia mampu membagi bahagia sambil tanpa kehilangan benda kesayangannya. Tak semua momen permainan anak perlu kita campuri; cukup bekali dengan aturan main dan awasi bagaiman aturan itu berjalan. Kecuali ketika kekerasan fisik maupun verbal tak lagi dapat dihindari. Maka perlu pihak ketiga untuk menggiring mereka menengahi, membantu mereka menemukan akar masalah dan mencari solusi yang sama-sama mereka ridhoi.
Sekali lagi, pihak ketiga hanyalah penengah. Peran kita adalah membantu mereka mengemukakan pendapat, dan melatih mereka menyelesaikan masalah dari akarnya. Bukan semata adu fisik dan verbalnya yang kita selesaikan, tetapi masalah yang membuat mereka meluapkan perasaannya melalui buruknya kata dan kasarnya tindakan. Dengarkan mereka, dan adil-lah dalam menawarkan penyelesaian. Berpihaklah pada kebenaran sikap, bukan individu. Sebab memihak salah satu anak, akan melahirkan sikap culas pada orang yang satu, serta dendam di diri anak yang dizholimi.
Semoga dengan penanganan yang benar, sikap adil, dan ketrampilan bernegosiasi akan terlatih dalam diri mereka. Jangan sampai, demi menyingkat waktu kita yang berharga, kita terbiasa menyederhanakan perkara. Memaksa mereka diam tanpa menyelesaikan masalah dari akarnya. Maka dari sana abainya kita akan perasaan mereka, akan mengajarkan mereka untuk mengabaikan perasaan orang lain pula. Ketika kita tak mampu menyediakan telinga untuk mendengar. Maka, anak pun mulai terbiasa tidak bicara. Na’udzubillah min dzalik.
Walaupun, ada satu-dua ibu yang saya jumpai. Nampaknya begitu percaya diri, bahwa anak-anak mereka akan mendewasa tanpa intervensi. Boleh jadi beredar anggapan, turut campur perkara kanak-kanak adalah bentuk pemanjaan yang tak layak. Maka dilepaslah anak anak itu untuk belajar sendiri, mencerna sendiri hubungan sebab-akibat. Larangan dan arahan, dianggapnya melemahkan perkembangan akal anak anak mereka. Saking enggannya mereka melarang, tiap kali sang anak terancam merebut milik orang lain, bukan penjelasan yang diberikan, namun pengalihan. Hasilnya, sang anak kehilangan kesempatan belajar. Tentang batasan antara miliknya dan milik orang lain.
Kali lain, ketika sang anak menyakiti, memukul, mendorong dan membahayakan anak lain, kembali pengalihan yang dilakukan. Boleh jadi anak hanya berhenti memukul dan mendorong karena tidak menemukan objeknya. Bukan karena sadar bahwa ada keamanan dan kenyamanan orang lain yang perlu dijaga. Entahlah, boleh jadi mereka yang paling tahu bagaimana menangani anak sendiri.
Saya juga hanya ibu biasa, dan anak yang tak berperilaku bak malaikat. Namun dalam tiap langkah ini, Semoga Allah senantiasa tunjukkan jalan dan genapkan ikhtiar, agar dapat melihat lebih jernih, menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Karena sungguh kesempurnaan hanya hak Allah, sungguh lemah diri ini jika hanya bersandar pada dzhan diri. Wallahu a’lam bish showwab.(*)