
MoMMee.org – Siapa Mommees disini yang suka main socmed? Atau malah punya lebih dari satu socmed? Sama dong kayak saya, hehehe..
Di era digital seperti sekarang ini sepertinya teknologi media sosial menjadi jembatan penghubung yang sangat memudahkan kita untuk berkomunikasi. Kalau dulu Ayah Ibu kita hanya bisa tahu kabar teman lamanya saat reuni, kita dengan mudah tinggal bukan smartphone dan mencari laman akun facebooknya. Kalau dulu Ayah Ibu kita mengandalkan telegram untuk mengirim pesan penting, kita dengan mudah tinggal meng-klik pilihan “PING!!” yang sudah disediakan oleh BBM. Hmm.. jadi ingat, saat masih mahasiswa dulu saya pernah kesulitan menemui Pemimbing Akademik (PA), yang saya telpon tidak diangkat dan di sms pun ga dibalas. Lalu iseng saya mentioni akun twitternya, dan gak sampai 5 menit, beliau balik mention saya untuk ngajakin ketemuan di Kantin Kampus, hehehe.. Memang gak bisa diindahkan, media sosial menjadi kebutuhan semua lapisa, mulai dari tukang ojek sampai mahasiswa. Mulai dari yang kerja, sampai yang nemenin anak-anak di rumah.
Tapii.. ternyata media sosial bisa bikin kita kurang bersyukur loh. Kok bisa? Hmm… coba deh diinget-inget kapan terakhir kali kita stalking akun media sosial seseorang lalu tetiba bergumam, “Wah, si A dapet besiswa ke Australi!” atau “Si X dan Z nikah di gedung ABC, ihh itu kan mahal biaya sewanyaaa..” atau “Mbak H kece pisan sih, anaknya empat masih singset begitu.. kerjaannya ngisi seminar disana sini pula..” atau juga, “Si L jago bangeet.. semua anaknya homeschooling, padahal dia kan ga pake ART..” Nah, biasanya gumaman seperti itu diikuti sama celetukan, “Lah gueee.. kenapa gue gini-gini ajaaa..”
DOR!
Ngerasa gitu gak? Hehehe…
Rumput tetangga (tidak) lebih hijau dari rumput sendiri.
Ada mekanisme unik yang bekerja di otak kita. Ternyata, otak kita melakukan kategorisasi atas segala informasi yang masuk ke kepala kita. Misalnya ketika kita dihadapkan dengan empat benda yang berbeda ukuran, warna, maupun bentuk, sekejap otak kita akan melihat benda tersebut secara berurut, entah dari yang terkecil hingga terbesar, atau dari warna yang paling terang hingga gelap, atau dari bentuk yang paling familiar dengan yang paling tidak dikenali. Nah, itu yang terjadi saat kita tidak sengaja (atau malah sengaja? hehehe..) melihat postingan bahagia teman lama kita di linimasa facebook. Tiba-tiba saja, otak kita mengolah informasi tersebut dan mengkategorisasikannya sebagai informasi yang lebih bagus atau lebih jelek dari kondisi kita saat ini. Kategorisasi, itu kuncinya.
Terus gimana ya supaya otak kita gak mengkategorisasi informasi seperti itu sebagai keadaan yang -rasa rasanya- lebih oke dari kondisi kita sekarang ini? Saya teringat perkataan Umar Ibn Khattab, “Jika sabar dan syukur adalah dua kendaraan. Maka aku tidak peduli harus mengendarai yang mana!” Maknanya kira-kira : harus ada sabar dan syukur yang dibawa dalam setiap cuaca.
Mungkin ada yang saat ini disibukkan oleh newborn, maka melihat teman seumuran yang masih bisa asyik jalan kesana kemari, rasanya iri sekali. Mungkin juga ada yang masih berkutat dengan finansial karena memulai pernikahan dari nol, melihat keluarga yang sudah ajeg, hati jadi kebat-kebit. Mungkin juga ada yang sudah berencana kuliah (lagi) namun ternyata hamil (lagi), melihat kawan berhasil dapat beasiswa ke luar negeri, rasanya mengiris-iris hati.
Sabar dan syukur, begitu Umar berkata. Karena setiap tahap kehidupan tidak akan pernah berulang dan tugas kita menjalankan sebaik-baikya. Karena apa yang kita alami saat ini, bisa jadi adalah keadaan yang belum bisa dicapai oleh orang lain. Mungkin sesekali kita perlu berdiam sejenak, mensyukuri rumah (kontrakan sekalipun) yang lapang, anak-anak yang ramai (tidak semua pasangan dikaruniai anak, bukan?), juga suami yang amanah memenuhi kebutuhan keluarga. Hey, bukankah Allah hanya menyuruh kita untuk ta’at?
Pada akhirnya, sabar dan syukur akan membantu kita mencapai tahapan tertinggi : Ridha’. Ridha’ atas semua takdirnya, ridha’ atas semua keadaan yang kita miliki. Ridha’ untuk kebahagiaan, juga ridha’ bagi kesedihan. Iya, Ridha’ untuk segalanya 🙂
Sayup-sayup saya teringat ucapan guru ngaji saya pada acara pekanan kami beberapa bulan yang lalu,
“Ridho itu hukumnya wajib. Kalo sholat aja masih ada yang sunnah, puasa juga ada yang sunnah. Ridho ini gak ada yang sunnah. cuma satu hukumnya: wajib.
Ridho itu apa?
Ridho adalah saat kita gak lagi bertanya, “Kenapa?” atas semua takdir yang ada di sekitar kita.”
Iya, rumput tetangga (tidak) lebih indah dari rumput kita sendiri, kok Mommees!(*)