
MoMMee.org – Tahun depan tak terasa waktu berlalu, anak saya yang pertama akan masuk jenjang sekolah dasar. Namun mulai kali ini proses penerimaan peserta didik baru harus melalui proses seleksi, antara lain melalui uji psikotes yang diadakan oleh lembaga mandiri. Satu pekan berlalu setelah Kakak psikotes, kami orang tua diundang pihak sekolah untuk diberikan penjabaran dari Ibu Ani, seorang psikolog pendidikan mengenai hasil yang dicapai ananda masing-masing.
Ibu Ani menyinggung di awal sebagai pengantar bahwa anak merupakan harta termahal yang kita miliki. Jadi apapun hasilnya mereka adalah harta kita yang paling berharga, dan tiap anak pasti unik berbeda-beda, itulah anugerah-Nya yang harus disyukuri. Beliau juga menjelaskan bahwa psikotes bukanlah ujian, jadi tidak ada yang harus dipersiapkan karena dilakukan apa adanya sesuai kondisi anak saat itu. Tujuannya adalah: 1) untuk pemetaan kemampuan anak; 2) temu kenal kelebihan dan keterbatasan siswa; 3) saran dan rekomendasi program pendidikan secara individual yang bisa dilakukan orang tua di rumah.
Alat tes yang digunakan adalah: 1) menggunakan skala Weschler (WPPSI) untuk anak di bawah usia 8 tahun; 2) grafis; 3) inventori gaya belajar (paling mudah anak menerima info dari apa); 4) kuesioner untuk anak berkebutuhan khusus; serta 5) observasi dan wawancara. Psikotest bisa dilakukan dalam rentang waktu 6 bulan – 12 bulan, jadi tidak bisa sebentar-sebentar mau test anaknya apalagi 1 bulan sekali. Hasil skor yang didapat juga hanya bisa dibandingkan jika skala menggunakan metode yang sama.
Adapun aspek psikologis yang diukur (dalam setting pendidikan):
- Skor IQ
- Kecerdasan emosi
- Komitmen pada tugas (mencakup konsentrasi dan ketekunan dalam mengerjakan tugas)
- Kecerdasan intelektual
- Kemampuan bahasa
- Kemampuan psikomotorik
- Gaya belajar
Klasifikasi IQ diibaratkan seperti wadah: gelas, botol, galon, dll. Wadah ini sudah given ketika anak lahir, terbentuk ketika di dalam rahim. Maka seorang ibu harus dijaga masa kehamilannya terutama di trimester pertama, dari rasa sakit, kondisi celaka, serangan virus, dan rasa stress. Sedangkan psikologi pendidikan bertujuan untuk mengoptimalkan stimulus bagi siswa. Wadah tidak bisa bertambah besar, tapi bisa mengecil hal tersebut tergantung bagaimana stimulus yang didapatkan seorang anak dalam perjalanan tumbuh kembangnya.
Dari perpaduan hasil skor IQ, kecerdasan emosi, dan komitmen pada tugas akan bisa terlihat saran yang tepat bagi metode pendidikan anak. Bisa jadi pilihan sekolah juga beragam, sekolah umum, SLB, atau sekolah bagi ABK. Anak cerdas skor IQ nya mulai angka 120. Angka 130 merupakan skor minimal untuk anak akselerasi, ini juga bisa dikatakan anak berkebutuhan khusus karena pencapaian IQ dia di atas rata-rata anak cerdas, fasilitas penunjang belajar pun harus memadai.
Gaya belajar anak merupakan modalitas belajar seseorang sehingga ia dapat menyerap informasi yang diberkan. Hal tersebut bisa berupa visual, auditori, dan kinestetik (V-A-K) dan bisa juga merupakan kombinasi dari 2 gaya belajar. Anak saya ternyata tipe yang visual dengan rentang perbedaan nilai verbal dan performance yang cukup besar.
Dalam lembar penilaian terdapat saran dan rekomendasi personal yang bisa dilakukan oleh orang tua di rumah untuk memberikan stimulus bagi anak. Karena sesungguhnya orang tua merupakan guru pertama dan utama bagi anak. Selain itu juga merupakan sumber kebahagiaan anak. Bisa membangkitkan potensi anak. Serta bertugas untuk memberikan pondasi. Ibu Ani kemudian menambahkan bahwa pola pengasuhan anak terutama akhlaq diibaratkan dengan metode piramida terbalik: semakin dini usia, peraturan diterapkan sangat ketat-sempit, semakin dewasa peraturan sudah mulai longgar karena anak sudah ada pondasi dari kecil. Bila dari kecil banyak toleransi, ketika dewasa mendapat banyak larangan anak akan berontak dan menjadi ‘musuh’ bagi orang tuanya sendiri. Pembelajaran akhlaq prinsipnya bukanlah genetik keturunan, tapi penularan atau melihat contoh dari orang tuanya. Anak menjadi sabar bukan karena ayahnya sabar, tapi sejak kecil dia selalu melihat ayahnya sabar jarang marah maka jadilah pembiasaan itu berjalan dan menjadi pondasi bagi anaknya. Kebiasaan baik akan menular, begitu juga kebiasaan buruk. Maka hindari kalimat dan contoh negatif bila berhadapan dengan anak.
Hal lain yang ditekankan adalah, di usia 6 – 7 tahun anak baru mencapai kematangan sensori (indera) dan motorik. Pada saat itulah anak benar-benar siap untuk menulis, membaca, dan berhitung. Jadi dalam psikotes kemarin tidak ada soal membaca, yang ada hanya anak diminta menuliskan namanya satu kali, hal tersebut ditujukan untuk menjalin kondisi yang nyaman dengan pewawancara.
Selanjutnya ibu Ani juga menyampaikan mengenai hasil penelitian Lise Gliot yang mungkin kita sering mendengar dan membacanya dari broadcast message yang berkembang dan tulisan di sosial media, tapi terkadang luput mempraktikkannya. Bahwa anak usia golden age merupakan masa optimal pertumbuhan sel otak. Dalam setiap anak terdapat lebih dari 10 trilyun sel otak yang siap tumbuh. Satu bentakan mampu membunuh lebih dari 1 milyar sel otak saat itu juga. Satu cubitan atau pukulan mampu membunuh lebih dari 10 milyar sel otak saat itu juga. Sebaliknya 1 pujian atau pelukan akan membangun kecerdasan lebih dari 10 trilyun sel otak saat itu juga. Hiks.
Dari hasil penjabaran ibu Ani semakin menguatkan bahwa psikologi dalam perkembangan anak sangat dibutuhkan untuk menunjang kecerdasan IQ dan emosional mereka. Hasil IQ memang tidak semata-mata menjadi faktor yang menentukan masa depan anak, namun dalam jenjang pendidikan IQ bermanfaat dalam menunjang proses pembelajaran. Bagi orang tua kita juga tidak boleh melupakan berbagai bentuk stimulus kepada anak, sehingga mereka bisa berkembang sesuai bakat, kecenderungan, dan keinginannya. Semoga Allah melimpahkan banyak kekuatan, kesabaran, dan petunjuk dalam mengasuh dan mendidik anak-anak kita. Aamiin. (*)