
MoMMee.org – Membesarkan anak yang berusia di bawah dua tahun di sebuah negeri yang bahasanya bukan bahasa ibu kita merupakan tantangan tersendiri bagi saya. Awalnya saya khawatir apakah hal tersebut akan mempengaruhi perkembangan berbicara putri saya -yang saat kami berangkat tengah berusia 18 bulan- atau tidak. Akan tetapi setelah saya berkonsultasi dengan beberapa pihak yang pernah mengalami pengalaman serupa, saya jadi lebih tenang. Prinsipnya, selama saya sebagai ibu tetap konsisten menggunakan bahasa yang sama, anak tidak akan mengalami bingung bahasa yang menjadi hambatan dalam perkembangan berbicaranya.
Terkait kemampuan berbahasa ini juga ternyata memang sangat dipengaruhi oleh seberapa sering dan banyak kata-kata yang diucapkan oleh orang-orang di sekitarnya kepada sang anak. Dalam buku Bright From The Start yang ditulis oleh DR Jill Stamm, profesor di Arizona State University, perkembangan intelektual anak sangat dipengaruhi oleh seberapa banyak kata-kata yang ia dengar sejak lahir sampai ia berusia 3 tahun.
Ia menukil sebuah studi yang dilakukan oleh dua orang peneliti (Betty Hart, Ph.D dan Todd Risley, Ph.D) di pertengahan 1990an, di mana sebuah tim dari University of Kansas mengamati 42 keluarga dengan latar belakang sosial ekonomi yang beragam dalam kurun waktu dua setengah tahun, ketika anak-anak dalam setiap keluarga tersebut tumbuh sejak usia 7-9 bulan sampai tiga tahun. Tim peneliti duduk mengamati di setiap rumah dan menghitung berapa banyak kata yang diucapakan dalam rumah tersebut. Mereka juga mencatat nada bicara, apakah kata-kata yang diucapkan terkesan positif atau negatif.
Kemudian, tim peneliti mengevaluasi bagaimana signifikannya jumlah kata-kata yang diucapkan terhadap IQ anak-anak tersebut di kemudian hari. Hasilnya, semakin banyak kata-kata positif yang diucapkan, smakin tinggi pula IQ yang diraih–tanpa melihat latar belakang sosial dan ekonomi setiap keluarga. IQ yang lebih tinggi pada anak juga dipengaruhi dengan nada, interaksi dua arah dalam percakapan, dan lebih banyak kata-kata yang bersifat bertanya daripada memerintah.
Stamm juga menuturkan bahwa secara ilmiah, perbedaan bahasa rupanya juga memiliki pengaruh pada kemampuan berbahasa seorang anak. Sejak ia berusia dua bulan, seorang bayi bisa membedakan bahasa dengan dua pola penekanan yang berbeda, contohnya bahasa Inggris dan Jepang. Ketika bayi tersebut semakin familiar dengan bahasa asli (native) mereka, skill mereka semakin terlatih dan mampu membedakan dua bahasa dengan pola penekanan yang sama, contohnya bahasa Inggris dan Jerman.
Ketika usianya menginjak lima bulan, bahkan bayi bisa membedakan dua bahasa yang serupa tapi dengan dialek yang berbeda, contohnya Inggrisnya US dan British! Fatabarakallahu ahsanul khaaliqiin.. Masih cukup panjang penjelasan Stamm soal proses bagaimana kata-kata yang ia dengar dapat tersusun dalam otak, dan menstimulasi proses berbicara sang bayi dan bahkan mempengaruhi kerja otak.
Selain itu, kemampuan bicara sangat erat kaitannya dengan oromotor, yaitu otot-otot di mulut sang anak. Jadi, untuk memudahkan anak dalam berbicara kita bisa melatih otot oromotornya dengan memberikan makanan bertekstur sehingga anak perlu mengunyah agar otot oromotornya semakin terlatih. Mengkonsumsi buah dalam bentuk bulat utuh juga baik untuk melatih oromotornya. Stimulasi lain yang juga dapat dilakukan oleh orang tua adalah dengan bentuk permainan, seperti meniup lilin, meniup pluit, dan menggigit sendok. (*)