
MoMMee.org – Perempuan memiliki fungsi yang istimewa. Pembentuk peradaban. Maka atas dasar fungsi ini, tidak berlebihan bila Alloh SWT menamakan salah satu surat dalam firman-Nya ‘An-nisa’. Perempuan. Tidak laki-laki. Perempuan memulai peran besarnya ketika ia menjadi ibu. Sehingga kemudian dalam salah satu hadits dikatakan, “perempuan adalah tiang peradaban”. Atas dedikasi yang tinggi dalam mendidik anak-lah –salah satunya, ia kemudian meraih gelar tersebut. Sebab mendidik anak berarti menyiapkan generasi. Dan membentuk generasi berarti membangun peradaban. Semua dimulai dari langkah seorang ibu.
Tetapi sesungguhnya langkah membentuk peradaban tidak berhenti disitu. Benar ia dimulai dari ranah domestik. Privat. Namun sejatinya ia harus mampu keluar dari ranah tersebut. Membentuk lingkar-lingkar sosial dari ranah yang tadinya bersifat privat. Ibu harus mampu mendidik anaknya, dan sejatinya anak-anak disekelilingnya. Ia harus mampu menjadi ibu, tidak hanya bagi anak yang keluar dari rahimnya. Namun ibu bagi lingkungannya. Hingga kelak menjadi ibu peradaban.
Sebaik-baik panglima dan sebaik-baik pasukan
Untuk membangun sebuah peradaban, satu ksatria tangguh saja tidak akan cukup. Ia butuh sebarisan pasukan. Pasukan-pasukan terbaik. Karena itu Rasulullah bersabda bahwa yang menaklukkan konstatinopel kelak yang menjadi panglima adalah sebaik-baik panglima. Dan pasukannya adalah sebaik-baik pasukan. Sungguh jika kita relungi lebih dalam makna hadits ini, maka kita akan dapati ramuan terbaik dalam membangun peradaban. Sebagaimana sabda nabi, maka sesungguhnya peradaban yang baik hanya dapat dibangun dan dibentuk oleh sekumpulan manusia-manusia terbaik. Tidak manusia. Tetapi manusia-manusia. Bersifat jamak, bukan tunggal.
Keadaan yang demikian juga dibutuhkan oleh sahabat sekaliber Ali bin Abi Thalib. Pada suatu waktu Khalifah Ali bin Abi Thalib pernah disindir oleh Muawiyah.“Mengapa pada zamanmu begitu banyak kekacauan mendera negeri ini? Sedang di zaman sebelummu aman dan tentram.” Ungkap Muawiyah. Dengan bijak Ali menjawab, “sebab di zamanku penduduknya adalah orang-orang sepertimu. Sedangkan pada zaman-zaman sebelumku, penduduknya adalah orang-orang sepertiku.”
Bahkan seorang pemimpin yang sholih sekalipun sangat membutuhkan masyarakat yang sholih untuk mendukung pemerintahannya. Sebab tanpanya, kehadiran pemimpin yang baik akan sia-sia. Sehingga begitupulalah yang harusnya dilakukan para ibu jika ingin membentuk peradaban yang baik. Mampu menjadi pendidik, tidak hanya bagi anaknya. Namun anak-anak manusia lainnya. Satu ksatria tidak cukup. Kita perlu ksatria-ksatria lain untuk membangun peradaban. Maka tidak berlebihan jika Jamil az-Zahawi mengungkapkan :
“Generasi ummat tidak akan hebat, jika para ibunya tidak mau peduli”
Khadijah: potret ibu peradaban
Dedikasi dan kebesaran Khadijah dalam membangun peradaban tidak terbantahkan lagi. Bagaimana tidak, seluruh hartanya ia belanjakan untuk perjuangan Islam pada masa awal kemunculannya. Begitupula tenaga dan fikirannya. Ia curahkan semua untuk dalam membentuk etape awal peradaban Islam. Jauh sebelumnya, ia kerap membeli anak perempuan yang hendak dikubur hidup-hidup oleh keluarganya. Ia, dengan sejuta kepeduliannya, mendobrak nilai-nilai tradisi arab jahiliyah di masa lampu. Dan jelang akhir hayatnya, ia pernah berkata kepada Rasul sebagaimana dinukil oleh Aidh al Qarni, “suamiku, hartaku telah habis kubelanjakan untuk kepentingan Islam. Jika nanti kelak aku wafat, maka barangkali tulangku masih berguna. Gunakanlah ia sebagai tongkat untukmu berjalan.”
Rasulpun pernah bersabda, “Khairukum anfauhum linnas” –sebaik-baik kalian adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain. Tidak ada perbedaan gender. Maka dari itu dapat pula dikatakan, sebaik-ibu adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain. Masyarakat. Ibu peradaban. Maka jadilah sebaik-baik ibu: ibu peradaban.(*)
Fitriyah Nur Fadilah
Aktivis Adara Relief International