
MoMMee.org- “Aku sih pinginnya yang sama-sama bisa nonton komedi romantis bareng yah, terus kita ngobrolin hal-hal mengenai teknologi terkini..dan begini..dan begitu,,”
“Aku pinginnya yang bisa sama-sama masak, terus kita bisa wisata kuliner bareng-bareng sambil incip-incip…”
***
Merasa familiar dengan harapan-harapan demikian?
Dulu, saya berpikir bahwa suami saya kelak pastilah akan sangat mirip dengan saya. Menyukai perjalanan jauh dengan modal tas ransel besar, kompulsif dalam hal makanan dan menonton film serta menyukai diskusi tentang buku terbaru.
Nyatanya?
Suami saya tipe orang yang jika melakukan perjalanan harus rapi, cermat dan terencana, menonton film hanya berdasarkan rekomendasi orang lain, serta tidak terlalu suka membaca buku (dia lebih memilih novel Islami, sedang saya? Novel yang menyerempet Islami yang saya baca terakhir kali adalah Thousand Splendid Sun milik Khaleed Khosseini, yang menurutnya terlalu ‘berat’).
Semua orang yang mengenal saya dan suami, pasti sepakat dengan satu hal: bahwa kami amat sangat berbeda. Ketika saya memilih genre musik tertentu, suami sudah pasti tidak suka dan memilih genre yang lain. Ketika saya menyukai warna itu, suami suka yang ini. Kami hampir tidak pernah seiya sekata untuk hal-hal yang remeh temeh (untungnya dalam konteks yang besar mengenai visi misi hidup bisalah dibilang hampir sama tetapi, tentu saja tidak sama persis). Ketika ia mengajak saya nonton untuk film tertentu, sudah pasti, saya mengantuk kebosanan.
Saya kadang tidak habis pikir, kenapa Allah menyandingkan saya dengan seseorang yang jauh berbeda? Padahal, bukankah akan lebih adem-ayem sebuah pernikahan jika dipersatukan dua orang yang sangat mirip?
Jawabannya ternyata saya temukan ketika saya sedang mengerjakan thesis (muahaha… iyee saya mau sharing jurnal lagi, bolehkan? Boleh ya? Boleh doong).
Salah satu judul artikel yang saya baca mengenai Opposite-Attraction yang disusun oleh Amy Kristof-Brown, Murray R. Barrick dan Cynthia Kay Stevens pada tahun 2005. Mereka membahas mengenai person-grop fit (yang sebenarnya salah satu bagian kecil dari person-environment fit), atau bagaimana ketika individu berada dalam kelompok serta bagaimana dinamika antara keduanya mampu menghasilkan produk yang maksimal.
Penelitian-penelitian sebelumnya mengungkapkan supplementary fit, atau kesamaan kepribadiaan atau nilai dalam satu kelompoklah yang menyebabkan suatu kelompok tersebut dapat melakukan kinerja maksimal. Kesamaan itu membuat pekerjaan lebih lancar sehingga hasilnya maksimal. Dengan kata lain, orang bekerja paling oke kalau lingkungannya juga sama dengan dia.
Namun, Kristof-Brown dan kawan-kawan justru menemukan jika ketidaksamaan individu antar kelompok justru meningkatkan performa dalam kelompok tersebut. Orang-orang yang dalam kelompoknya memiliki ketidaksamaan justru lebih efektif dan menunjukkan performa yang lebih baik.
Mengapa bisa demikian?
Kristof-Brown, dkk, memberikan argumentasi bahwa jika dalam dinamika kelompok, terkadang berlaku yang bernama need supplies atau kebutuhan yang saling melengkapi atau dalam teorinya disebut complementary fit. Tidak selamanya kelompok membutuhkan seseorang yang sama tetapi pada kondisi tertentu ketidaksamaan justru menguntungkan suatu kelompok. Selama ini, complementary fit hanya dianggap ada dalam konteks pengetahuan atau skill (kelompok yang pengetahuannya berbeda menunjukkan performa yang lebih bagus), tetapi ternyata juga ditemukan dalam ranah kepribadian (yang awalnya hanya dianggap kelompok yang baik adalah kelompok yang kepribadiannya sama semua).
Ketika kepribadian yang berbeda tentu akan menghasilkan banyak konflik, tetapi penelitian lain menunjukkan ketika masing-masing anggota kelompok memahami pentingnya tujuan bersama (goal oriented) maka konflik tersebut justru dapat membuat keterikatan antar anggota serta akhirnya membuat mereka lebih kompak untuk meraih tujuan tersebut.
Yang lebih menarik lagi, ketika saya berkorespondensi dengan Prof. Kristof-Brownnya langsung, beliau mengungkapkan jika complementary fit ini dalam urusan kepribadian paling baik dalam menjelaskan ketika kelompoknya merupakan dyads (atau pasangan) dan ketidaksamaan ini paling mempengaruhi group outcome yang lebih baik, bukan personal outcome.
Artinya?
Yak! Better two than one!
Seseorang ketika menemukan orang yang berbeda dengan dirinya dan keduanya memiliki tujuan yang sama, akan sangat baik ketika menjadi satu. Ketika mereka justru sendiri-sendiri, maka ‘kebaikan’ itu akan sulit muncul.
Dari hasil penelitian-penelitian tersebut, saya mulai memahami, bahwa tidak ada rumusan pasti dalam mencari pasangan hidup. Mungkin beberapa dari kawan saya menemukan supplementary fitnya sementara kawan yang lain menemukan complementary fit mereka. Dan saya percaya, Allah lebih tahu mana yang fit untuk kita.(*)
by: Novika Grasiaswaty