
MoMMee.org – “Nindy lebih muda sebulan dari Kayyisa, tapi badannya lebih tebal dari ini” Lebaran selalu menjadi hari yang saya nanti. Hari dimana saya benar-benar merasa bahagia. Seharusnya. ”wah, kok kurus ya?” celetuk seorang Bapak sambil menyalami Kayyisa. “Sini Andi, Nayla berdiri di samping Kayyisa, kaya angka 100.. hahaha.. ” sembur seorang sepupu. Andi dan Nayla adalah anak sebaya Kayyisa yang seumur, mereka berdua gemuk sekali. Saya diam saja. Saya jadi agak sedih karena Kayyisa dibilang kurus. Saya dan Kayyisa sangat dekat, seolah merasakan perubahan suasana hati saya, Kayyisa juga tidak bersemangat bermain bersama anak-anak lain. Yang semuanya memang lebih gemuk. Dia hanya diam saja di dekat saya. Hal itu tidak luput dari perhatian saudara yang lain. “Kayyisa kok diam aja, lihat nih Maya, aktif banget, lari-lari terus” tanya seorang sepupu. “iya, Mba. Mungkin sebentar lagi, dia sedang menyesuaikan diri dengan lingkungan baru” sahut saya. “Wah, kalau Atiqah mah ga perlu adaptasi lagi, dimana aja aktif dan gampang deket dengan siapapun” seorang paman yang lain menyambar, membanggakan cucunya.
Itu bukan pertama kalinya Kayyisa bertemu anak-anak yang lebih gemuk dan tentu saja, bukan pertama kalinya Kayyisa dibandingkan tingkat ketebalan badannya. Saya masih ingat, saat seorang bibi berkata sambil menunjuk Kayyisa “Nindy lebih muda sebulan dari Kayyisa, tapi badannya lebih tebal dari ini” saya diam saja. Seseorang lain pernah menyarankan agar Kayyisa diurut oleh seorang dukun agar gemuk. Seorang lagi menyarankan agar banyak-banyak minum susu formula. Untung tidak ada yang menyarankan meminum obat cacingan, setidaknya tidak dalam jarak sependengaran saya. Semuanya tidak lain tidak bukan, karena (menurut mereka) Kayyisa kurus.
Saya sedih. Sebagai seorang ibu, saya amat menyayangi anak saya. Saya hamil 9 bulan, melahirkan setelah kontraksi selama 28 jam, menyusuinya 2 tahun lebih, dan merawatnya sepanjang waktu. Saat Kayyisa dibilang kurus itu hanya berarti 2 hal, 1. Kayyisa dihina. 2. Saya sebagai ibu tidak becus mengurus anak sehingga anak menjadi kurus. Ingin sekali saya membela diri dan Kayyisa di hadapan mereka. “Kayyisa tidak kurus, tapi proporsional, sesuai dengan grafik berat badan optimal. Kayyisa tidak gemuk karena tidak minum susu formula seperti anak-anak lain. Kayyisa minum Asi! Asi 2 tahun penuh!” teriak saya dalam hati. Saya tidak menyalahkan anak-anak lain yang meminum susu formula karena memang terpaksa oleh keadaan, pada kondisi tertentu susu formula telah menyelamatkan banyak nyawa. Namun, anak yang hanya meminum ASI umumnya memang lebih ramping daripada anak yang meminum susu formula. Keadaan kurang gemuk inilah yang sering ditonjolkan oleh orang yang mungkin belum mengerti. Berkali-kali mendengarnya, tanpa bisa menjelaskan tanpa merendahkan anak lain yang lebih gemuk, membuat saya frustasi. Saya sudah mengkhatamkan buku “Seni Berbicara” oleh Larry King dan “The Art of Dealing with People” oleh Les Giblin. Tapi saya tidak bisa membela anak saya sendiri. Baiklah, saya akan membeli susu formula nanti.
Tiba-tiba…. “Ummi, aku sayaaang banget sama ummi” anakku yang belum berumur tiga tahun itu menubruk dan memelukku dari belakang. Saya memeluknya balik dan berkata sepenuh hati, “Ummi juga sayaang banget sama Yisa”. Kayyisa memang sering membuat kejutan. Sore hari di bulan Ramadhan, sepulang dari kantor, Kayyisa menyambut saya di pintu dan berkata: “Ummii, Yisa menang, Mi” soraknya sambil menunjukkan sebuah bingkisan. Saya heran. Oala, ternyata ada perlombaan membaca huruf hijaiyah di PGnya, dan Kayyisa keluar sebagai juara. Di lain waktu, ada event Ramadhan Ceria di kantor saya. Berbagai lomba digelar di event yang khusus untuk anak-anak karyawan itu. Tidak bermimpi menang karena sesungguhnya umur minimal untuk ikut adalah 3 tahun, sementara Kayyisa masih 2 tahun lebih, saya daftarkan Kayyisa ikut sekedar untuk melatih keberaniannya. Kayyisa ikut lomba hafalan ayat pendek, paling muda diantara peserta lain. Pada saatnya maju untuk menyetor hafalannya, Kayyisa tidak mau maju, sehingga dilewati. Saya terus membujuk Kayyisa agar mau maju ke depan, akhirnya setelah beberapa peserta maju, Kayyisa mau maju ke depan dengan syarat saya ikut maju menemani.
Di depan juri, ayat-ayat surat pendek menderas dari mulut Kayyisa. Kayyisa juga saya ikutkan lomba mewarnai. Sewaktu dibagikan lembar untuk mewarnai, Kayyisa tidak terlihat oleh petugas, sehingga saya maju untuk meminta lembarannya. Sewaktu saya kembali ke tempat duduk semula, Kayyisa sedang memeluk erat seorang ibu sambil menangis terisak-isak. Rupanya tadi Kayyisa sempat tidak melihat saya dan ketakutan ditinggal pergi. Seraya berterima kasih pada ibu tersebut, saya mengambil Kayyisa. Kayyisa terus menangis dan mogok mewarnai sehingga gugur dalam lomba itu. Di perjalanan pulang, walau tidak jadi mengikuti lomba mewarnai, saya senang karena setidaknya Kayyisa sudah mencoba lomba hafalan surat pendek. Kami pulang lebih awal. “Para pemenang pasti sudah diumumkan saat ini “, batin saya di perjalanan pulang. Saya sama sekali lupa tentang Ramadhan Ceria itu sampai datang sebuah SMS dari rekan kerja “Mba, Kayyisa menang juara 3 lomba hafalan surat pendek, ayo kesini. ” begitu bunyi SMSnya, rekan saya itu memang sedang menghadiri acara buka puasa bersama yang sedang diadakan kantor. Karena masih ada pekerjaan, saya terlambat menghadiri buka puasa itu. Saya bergegas datang ke lokasi acara, ternyata pengumuman kategori lomba tersebut sudah lewat. Walaupun tidak sempat difoto, saya senang, anak saya menang.
Pernah juga, sewaktu ayahnya makan sahur dengan kerupuk, Kayyisa meminta kerupuk ayahnya, padahal dia sedang batuk. Kayyisa memohon, menangis, merengek, marah, tidak berhasil. Tapi, dia tidak menyerah, dia mau kerupuknya. Dia ambil potongan lauk di piring ayahnya dan melemparnya ke lantai. Ayahnya menaruh piring dan dengan marah memungut potongan lauk itu untuk dibuang. Saat ayah kembali dan melihat kerupuknya sudah hilang, meledaklah tawanya, antara geli dan sebal karena ditipu anak 2 tahun.
Prangg.. terdengar suara beling beradu. Saya terbangun dari kelebatan memori dan bergegas ke sumber suara. Disanalah dia, si penyebab kegaduhan, Kayyisa, berdiri di atas kursi mungilnya di pinggir sink, sedang (berusaha) mencuci piring kotor. Memandangnya mengusap piring dengan spons, yang sepertinya lupa diberi sabun, saya jadi malu. Kenapa saya begitu peduli dengan orang-orang yang menyebut anak saya kurus? Walaupun Kayyisa tidak segemuk anak-anak itu, saya tetap bangga. Terutama untuk senyum berbinarnya saat menyambut saya pulang kerja, untuk kemauannya membantu menyapu, menjemur pakaian atau mencuci piring, serta untuk antusiasmenya ikut berwudhu dan ikut solat disamping kami.
Ramadhan dan lebaran tahun ini membuat saya menyadari satu hal. Apapun yang akan dikatakan orang tentang Kayyisa, saya akan tetap bangga. Walaupun dia terus dibandingkan bila berkunjung ke rumah anak yang lebih gemuk, saya tetap bangga padanya. Walaupun dia terlihat kalah menggemaskan tanpa pipi tumpah, saya tetap bangga. Hal ini sekaligus catatan bagi saya, bahwa bila nanti untuk anak selanjutnya ada kendala dengan Asi saya sehingga anak terpaksa minum susu formula dan tumbuh lebih gemuk daripada anak lain, saya tidak akan membandingkan. “Yisa sedang cuci piring, Ummi”. (*)
Imairi E/Fasilkom 2005
Pemenang Lomba UCM 2013 (Ummi Cerdas Menulis)