
MoMMee.org – Ingatkah kita tentang pengalaman hidup yang telah dilalui di waktu kita kecil? Terutama sebelum usia 3 tahun? Seingat saya, baru usia 4 tahun saya ingat pengalaman waktu kecil dan itupun tidak utuh. Paling ingat ya sewaktu duduk di bangku TK, masih ingat beberapa teman kecil dahulu, guru-guru, lomba dan kegiatan yang pernah diikuti, mengaji di TPA, bermain dengan tetangga, berkunjung ke rumah saudara, momen pertama kali bisa membaca, dll.
Berdasarkan penelitian Schachtel (1947) dan Neisser (1962) mengenai Autobiographical Memory & Childhood Amnesia, istilah ketidakmampuan manusia mengingat sebagian masa di awal kehidupannya dikenal dengan “amnesia bayi”. Saat bayi, anak mengandalkan indera-indera tertentu secara khusus, antara lain indera perasa, indera penciuman, dan taktil. Indera perasa bayi memiliki lebih banyak kategori rasa daripada orang dewasa, karena itu mereka senang memasukkan apa saja ke dalam mulut. Mereka mengenali aroma ibunya jauh sebelum mengenali wajah ibunya. Mereka juga bisa membedakan gendongan ibunya dan orang lain, termasuk suhu tubuh ibunya.
Tetapi kategori ingatan bayi sifatnya otosentris (dirasakan di dalam tubuh) yang diterjemahkan sebagai perasaan senang atau tidak senang, nyaman atau tidak nyaman. Dunia bayi yang didominasi indera otosentris tidak lagi bisa dikenali atau dikelompokkan (apalagi) diingat dengan kode-kode verbal, sehingga hilang begitu saja seiring pertumbuhan. Itulah mengapa kita lupa sebagian besar pengalaman sewaktu kita kecil.
Karena itulah, momen bonding antara orang tua dan anak terutama ibunya dimulai sejak ananda lahir sampai usia batita. Masa ketika perlekatan kala menyusui, mengenal wangi ibunya, sentuhan ayahnya, atau saudara-saudaranya, dan orang asing di sekitarnya. Bonding ini disadari atau tidak akan terasa hingga usia dewasa, kontak fisik yang ditanam sejak newborn baby hingga usia toddler berdampak pada psikologis anak di masa dewasa. Setidaknya itu yang saya rasakan secara pribadi.
Di sisi lain, mengapa banyak pula anak-anak usia dini yang hafal Qur’an? Atau anak-anak yang sudah bisa balistung (baca-tulis-hitung) dari kecil? Kalau dari pengamatan dan beberapa tulisan yang saya baca, di samping al-Qur’an merupakan mukjizat yang akan berdampak kebaikan bagi pembacanya, proses penghafalan pun dilakukan secara berulang-ulang. Jadi ingatan ayat demi ayat senantiasa melekat dalam ingatan anak. Walau dia masih cadel dalam pelafalan, ketika perkembangan fisik terutama vokal semakin sempurna maka ayat yang keluar juga sesuai dengan talaqi yang dicontohnya orang tua kepadanya.
Begitu juga soal pro-kontra balistung di usia dini. Memang saya sendiri berpatokan pada “better late than early”, tapi ketika ananda sudah ada kemauan untuk minta diajarkan, minta dibacakan cerita, atau mengenal huruf ketika berpergian di jalan, bertanya soal hitungan sederhana, ya tidak ada salahnya kita ajarkan. Karena usia dini tak bisa diabaikan bahwa perkembangan otak mereka sangat pesat. Sayang kan momennya kalau hanya mengingat hal-hal yang kurang ‘penting’, apalagi hanya ingat episode film di televisi yang berulang-ulang ditayangkan, ada hafalan lagu odong-odong, hehe. Jangan kalah dengan muroja’ah hafalan Qur’an yang tentu ada pahalanya. Manfaatnya untuk kita juga sebagai orang tua, dengan meraih pahala bacaan ananda yang masih terbata-bata, belum tahu huruf, dan suara cadel yang menggemaskan. Asalkan ananda tidak merasa terpaksa, mereka senang melakukannya, hal itu bisa saja dilakukan. Walau semua pilihan itu dikembalikan kepada kita sebagai orang tua, dalam membentuk pribadi mereka. Namun yang pasti, masa kecil tak akan terulang kembali, sebagaimana kita lupa sebagian besar pengalaman hidup usia batita.(*)
Note: terinspirasi pertanyaan challenge yang diadakan di grup WhatsApp #3. Thanks to bunda Pramitha Sari, dan juri Miftahul Jannah (Psikolog) atas jawabannya.