
MoMMee.org – Hari ini 23 November 2014, grup WhatsApp #1 MoMMee.org mengadakan kunjungan dan silaturahim ke ibu Wirianingsih (Wiwi) di daerah Depok, Jawa Barat. Alhamdulillah dihadiri 18 orang member MoMMee. Silaturahim bertempat di Yayasan Citra Insani, Lembaga Tahfidz Qur’an “Muyassarah”. Dimulai pukul 14.45 berakhir pukul 16.00. Berbarengan dengan kunjungan ibu-ibu dari beberapa pengajian di Depok, kami dengan seksama menyimak paparan yang disampaikan ibu Wiwi.
Dimulai dengan cerita beliau di awal aktivitas gerakan Islam sekitar tahun 1983, ketika menjadi mahasiswa yang tergabung dalam organisasi PII di Bandung. Dalam keanggotaannya menjadi PII-wati kadangkala mahasiswa yang pria sering mengaitkan bahwa tugas sekretariat yang berhubungan dengan memasak adalah urusan mahasiswi. Namun hal tersebut disanggah bu Wiwi, bahwa tugas beliau jauh-jauh disekolahkan orang tuanya ke Bandung adalah untuk menuntut ilmu. Pandangan stereotype seperti ini kerapkali memang ditujukan kepada pihak perempuan. Padahal urusan domestik, tujuan utamanya adalah pekerjaan selesai bukan soal siapa yang mengerjakannya. Bukan berarti beliau tidak peduli urusan domestik tersebut, tapi kondisinya saat itu beliau sedang berada di kantor sekretariat yang tugasnya lebih dari sekadar itu.
Keutamaan Ilmu
Para sahabat Rasulullah dahulu selalu mengedepankan pencarian ilmu (pengetahuan) sebagai motivasi utama dalam berkumpul. Bahkan dalam kitab Ihya Ulumuddin Bab pertama yang dikupas adalah tentang Ilmu: diawali dengan adab guru dan murid, agar ilmu tidak menjadi rusak.
Ada kisah, ketika Nabi mengadakan pertemuan di rumahnya (yang sekarang dikenal dengan Raudhah), diatur dalam sistem ‘protokoler’. Ada penerima tamu, dan ada penunjukkan juru bicara. Di bagian teras depan rumah Nabi para sahabat berdebat soal siapa yang akan menjadi juru bicara ketika bertemu Nabi di dalam rumahnya. Karena terlampau ramai dan gaduh kemudian Nabi keluar dari kamarnya. Kejadian ini kemudian menjadi asbabun nuzul turunnya QS: al Hujurat: 2-5. Inilah salah satu adab sebelum menuntut ilmu. Para sahabat diminta untuk menjaga suaranya agar tidak meninggikan suara melampaui Nabi. Jika tidak bisa menjaga suara, akan berdampak pada terhapusnya amalan baik sebelumnya. Setelah kejadian itu para sahabat jika berbicara di hadapan Nabi berbisik-bisik sampai tak terdengar suaranya. Ada salah satu sahabat dari kalangan Anshor yang tidak pernah datang lagi ke majelis ilmu selama 3 bulan, kemudian Nabi datangi rumahnya. Ketika ditanya ia sebenarnya ingin datang, tetapi ia takut akan hapus amalan baiknya karena ia termasuk salah satu sahabat yang memiliki suara yang keras. Masya Allah begitu taatnya mereka pada perintah Rabb-nya untuk menjaga adab ini.
Dalam konteks menjadi ibu, ilmu yang bernilai menurut bu Wiwi adalah pengalaman dan kesabaran. Ilmu yang ada saat ini, sosial ataupun eksakta pada dasarnya juga dari pengalaman, empiris, kemudian ada teori, kemudian menjadi pengetahuan. Sebagaimana firman Allah dalam QS: As-Syuara yang mengisahkan pengalaman 19 Nabi. Dengan demikian kita diperintahkan untuk untuk membacanya dan mempelajarinya. Dalam al-Qur’an tidak pernah ada pelajaran detail tentang menjadi seorang ibu. Karena pengalaman tiap orang berbeda-beda, tidak ada tips-tips, yang ada hanyalah kisah untuk diambil pelajaran mengenai aturan umum atau batas-batas peran keibuan. Dengan begitu ketika kita praktik menjadi ibu, di situlah kita sedang menimba ilmu menjadi ibu.
Beberapa aturan umum tersebut, telah Rasulullah contohkan dalam hadits. Saat itu sahabat mempunyai anak 1, dia lewat menjumpai Nabi yang sedang mencium cucunya, ia merasa heran karena dia tidak pernah melakukan hal tersebut kepada anak-anaknya. Kemudian Nabi hanya menjawab: “man la yarham la yurham” (barang siapa yang tidak sayang, tidak akan disayangi). Berarti sikap kita kepada anak ya harus menyayangi mereka. Ini adalah kaidah umum, aplikasinya bisa berbeda-beda. Hanya ada contoh common sense di kalangan salafushalih.
Pun salah satu praktik yang digunakan dalam sistem sekolah yang menggunakan metode Montessori (karena dahulu belum ada Psikologi cabang perkembangan anak), pada hakikatnya merupakan penerapan dari common sense yang telah dicontohkan dahulu oleh Nabi, yaitu perihal bila berbicara dengan anak sejajarkan posisi kita, mata menatap. Kaidah umumnya adalah karena usia anak tidak pernah melampaui kita sebagai orang dewasa, tapi kita pernah melewati usia anak-anak yang tentunya kita bisa memposisikan diri seperti anak-anak, mengetahui apa saja kemauan seorang anak dan bagaimana sikap anak-anak pada umumnya. Karena itulah seharusnya kita sebagai orang dewasa harus menjadi orang yang paling mengerti tentang keinginan anak-anak.
Kisah lain dalam suatu majelis, Rasulullah memberikan sisa minumannya kepada Anas bin Malik, yang usianya paling muda. Ini salah satu contoh, bahwa Nabi tahu betul bahwa anak-anak pada dasarnya memang selalu ingin diperlakukan istimewa, didahulukan, dan disayangi. Jadi Nabi memberikannya kepada Anas. Tidak ada kalimat langsung hadits yang menyatakan “wahai sahabat berikan minum pada anak terlebih dahulu”, yang ada hanyalah contoh air minum itu. Maka dalam kondisi masa kini, ketika kita ingin mengajak anak-anak dalam suatu majelis, jangan ibu dulu yang makan. Anak harus dibuat kenyang terlebih dahulu, karena anak belum bisa mengatur emosi jika lapar. Sebelum berangkat, segala perbekalan untuk anak harus diprioritaskan (makanan dan mainan).
Ibu dan Dakwah
Setiap ibu diberikan kemampuan oleh Allah untuk melakukan improvisasi, soal (how to?). Misalkan mengatur pertanggungjawaban mengasuh adik-adik oleh kakak-kakak (yang dilakukan bu Wiwi), mengajak jalan masing-masing anak dengan orang tuanya sendiri saja, agar mereka tetap mengalami suasana istimewa dengan ibunya (ini terapkan oleh bu Yoyoh almh), dan contoh manajemen pengelolaan keluarga lainnya. Tiap rumah bisa jadi memiliki pola dan kebiasaannya sendiri.
Hal yang patut diingat adalah, sebagai seorang ibu objek utama dakwahnya adalah anak-anaknya sendiri. Ketika sudah menjadi ibu yang mendidik anak, sudah otomatis itu disebut dakwah juga. Jangan kita unggul di luar, tetapi anak tidak terurus. Jangankan mengatur soal kebutuhan sehari-hari, urusan mengaji saja yang mengajarkan anaknya orang lain padahal ibunya banyak aktivitas mengisi sejumlah pengajian di luar. Di luar, aktivitas banyak dan semangat merasa menjadi seorang da’i, tapi tidak bisa mengurus sarapan untuk suami. Tidak pernah berpikir bahwa orientasi pertama dia sebagai seorang ibu adalah berdakwah di kalangan terdekatnya yaitu anaknya.
Menurut bu Wiwi, kecerdasan perempuan bisa terlihat dari bagaimana ia memanajemen urusan domestiknya. Sebagaimana hikmahnya kita diperintahkan untuk membaca al-Qur’an dengan tadabbur (asal kata dubur = belakang). Dalam membaca al-Qur’an kita diperintahkan untuk mengupas hingga bagian belakang hal yang tersirat, beda dengan tafsir yang butuh ilmu khusus. Orang yang selalu memperhatikan urusan belakang, insya Allah dia pasti akan memperhatikan dengan detail urusan depan. Orang yang peduli urusan depan belum tentu dia peduli dengan urusan belakang. Contoh urusan domestik di belakang seperti kamar mandi dan dapur harus senantiasa teratur dan terjaga kebersihannya. Jika kamar mandi kotor, licin, anak-anak jatuh siapa juga yang repot? Jika di dapur dalam meletakkan bumbu berjauhan bagaimana bisa menyajikan masakan yang efektif dan efisien? Jadi sebenarnya perempuan disekolahkan tinggi-tinggi bukan sekadar untuk mencari kerja tapi juga cerdas untuk manajemen urusan keluarganya.
Mengenai perempuan berkembang dengan karirnya menurut bu Wiwi tidak dilarang dalam Islam, asalkan kemudian terjamin bagaimana urusan anaknya bila ditinggalkan. Setiap pilihan pasti ada resikonya, dan perihal mendidik anak juga butuh ilmu, ketika kita sedang mendidik anak maka saat itu kita sedang menggunakan ilmu kita menjadi ibu. Ketika kita berperan di rumah sebagai ibu, itu sesungguhnya berdakwah juga. Dibawa senang, tidak usah disesali. Karena hakikatnya kewajiban suami adalah mencari nafkah, dan kewajiban istri adalah taat kepada suami. Tugas seorang ibu intinya menyiapkan anak-anak mengarungi kehidupan dan tangguh dalam menghadapi masalah, itulah dakwah.
Bu Wiwi berpesan agar kita menjadi ibu yang shalihah, jangan sampai jadi ibu yang mengecewakan dalam berbicara. Penting bagi seorang ibu menjaga lisannya. Karena Allah tidak pernah menyia-nyiakan hamba-Nya. Silakan jalankan peran-peran keibuan. Bukan soal tugas bahwa perempuan harus masak, mencuci, dll. Kita bisa membagi tugas dengan suami yang penting urusan pekerjaan rumah selesai. Di samping itu, kita juga tidak boleh melupakan tugas-tugas kemasyarakatan. Dalam perjalanan pasti ada permasalahan ada kasus yang ditemui dan cinta yang harus memilih, misal: anak sakit, mertua mau datang, tapi harus mengisi ceramah di luar. Keputusan mana yang akan dipilih? Ada pelajaran di situ, ketajaman intuisi lama-lama akan terlatih, mana kebutuhan yang penting dan mendesak.
Membentuk Anak yang Menjaga Agama
Kita tidak boleh semata-mata mengandalkan pertolongan Allah, tapi juga harus ada ikhtiar. Misal memiliki banyak anak, kita pun jangan lambat bergerak dalam mengurusnya. Mengatur efektivitas waktu dan tenaga. Perbanyaklah doa, antara lain:
- La haula wala quwwata illa billah.
- Membaca ayat Qursiy setelah sholat shubuh dan sebelum tidur.
- Doa ibu insya Allah diijabah, perbanyaklah doa untuk suami, untuk anak, untuk cucu.
Di sela-sela akhir setelah foto bersama, sebelum berpamitan saya menyempatkan bersalaman dan memohon doa agar bisa mendidik anak-anak sebagai penghafal al-Qur’an. Terinspirasi buku 10 Bintang Al-Qur’an yang saya baca. Sebelum beliau mengaminkan seakan beliau meralat, didoakan agar menjadi anak-anak yang menjaga agama. Saya tidak menanyakan lebih lanjut maksud dari pernyataan tersebut. Namun, menjadi hafidz sepertinya bukan tujuan akhir dalam mendidik anak karena sesungguhnya hal yang lebih dari itu yang harus dipersiapkan. Bagaimana anak-anak menjaga agama di manapun mereka berada, terlepas dari pengawasan orang tua dengan kondisi lingkungan yang beraneka ragam. Tangguh dalam hidupnya ketika dewasa. Intinya dalam mengasuh anak perlu banyak kesabaran, ustadzah Tintin (kawan ibu Wiwi) juga menambahkan disyukuri semua anugerah Allah. Karena kita mendapatkan apa yang kita inginkan di masanya. Menikah dan memiliki anak, di tempat lain belum tentu semua teman kita sudah mendapatkan rezeki itu.(*)
Ya Allah berikanlah kekuatan, kesabaran, dan keteguhan dalam menjalankan amanah ini. Aamiin.