
MoMMee.org – Mencari lokasi wisata tengah kota yang rindang, asri, alami, sejuk, pemandangan indah, nampaknya sudah semakin langka di tengah industri bisnis pasar modern yang semakin berkembang pesat, bahkan sebelah-sebelahan. Puyengnya jadi mommees, kala anak merengek jalan-jalan dan mereka cuma punya referensi mall lagi mall lagi, dengan alasan tempat makan yang nyaman, ruangan indoor ber AC, serta produk makanan dan jualan yang memanjakan mata (emak kekepin dompet). Pernah kami ajak makan di pedagang kaki-lima mukanya langsung cemberut. Padahal menurut kita mah sebagai orang tua jajanan kaki-lima itu paling enaaaak dan murmer 🙂
Sebenarnya Ayah cukup sering mengajak mereka jalan-jalan di rerumputan dan danau buatan yang dekat rumah, seperti di ujung landasan bandara Halim Perdana Kusuma sambil lihat pesawat yang landing atau take off. Main ke kampus UI Depok sambil numpang sholat di Masjid, atau di beberapa taman kota yang ada playground-nya. Pernah juga ke museum Nasional karena ada event dongeng, tapi anak-anak pada ketakutan melihat patung-patung. Pernah ke museum yang ada di Taman Mini cukup antusias tapi fasilitas kurang terawat memadai, seperti toiletnya. Yaah… mereka punya selera kenyamanan sendiri, mungkin seperti ‘anak kota pada umumnya’.
Lokasi rekreasi di Taman Mini Indonesia Indah sebenarnya juga sering kami kunjungi, tapi terlalu dekat dan saking seringnya ke sana karena momen acara sekolah, jadi agak bosan juga. Kebun binatang Ragunan hmm… belum pernah sekeluarga ke sana bareng-bareng sih, karena ayahnya tak mau kalau diajak ke sana entahlah. Padahal kalau kata psikolog, untuk anak-anak visual ajaklah anak-anak ke tempat yang menarik untuk dilihat—tapi tidak bisa dibeli (museum, zoo, dll). Kalau ajaknya ke pasar/mall bisa overbudget dana orang tuanya! Iya juga hehe.
Pada kesempatan kali ini saya mengikutsertakan anak-anak ikut rombongan ibu-ibu (teman-teman saya) ke taman ekowisata hutan mangrove yang terletak di Pluit Jakarta Utara lokasi tepatnya di Pantai Indah Kapuk. Oiya sedikit konsep mengenai ekowisata yang saya ambil dari referensi sewaktu mengerjakan skripsi. Menurut Deklarasi Quebec, pembangunan ekowisata berkelanjutan dilakukan melalui 3 prinsip utama: 1) mendorong upaya konservasi alam dan budaya; 2) melibatkan masyarakat lokal dan memberikan kontribusi ekonomi; 3) menunjukkan kepada wisatawan karakteristik unik alam dan budaya setempat.
Ekowisata berarti juga pariwisata berwawasan lingkungan alam yang menurut The Ecotourism Society, sebagai perjalanan wisata ke area alam yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Jenis wisata ini termasuk wisata alternatif yang bertanggung jawab terhadap pelestarian lingkungan alam dan sekitarnya dalam pengembangannya selalu memerhatikan keseimbangan nilai-nilai.
Kami berekreasi ke ekowisata hutan mangrove pada akhir bulan Januari 2016 di hari Sabtu pagi dengan perjalanan yang lumayan cepat dan lancar, padahal arah bandara Soetta lho. Sambil mencari info di aplikasi peta dan bertanya pada orang-orang di sana, akhirnya ketemu juga lokasinya. Cukup jelas, petunjuk jalan juga ada.
Berikut informasi yang bisa dipertimbangkan:
- Biaya masuk 25 ribu untuk dewasa, anak-anak 15 ribu, mobil 10 ribu.
- Izin membawa kamera DSLR 1 juta per kamera (boleh lengkap dengan lampu dsb – all day).
- Izin foto pre-wedding 700 ribu. Catatan: mulai bulan April menjadi 1,5 juta. Wuidiiih mahil yak, memang menjual view sih.
- Naik boat, sampan dayung, getek. Harga bervariasi (100 ribu-400 ribu) tergantung jumlah kursinya. Kami naik boat yang 8 seat seharga 400 ribu, tapi puas. Keliling hutan mangrove serasa di tengah hutan Kalimantan/Amazon.
- Tidak boleh membawa masuk: binatang peliharaan, kamera besar (kalau tak bayar), makan-minum dari luar. Tapi saya tetap bawa bekal sendiri dan beli minuman juga di sana.
- Untuk anak bayi, baiknya pakai baju yang tertutup ya kuatir ada nyamuk, bisa juga bawa stroller atau gendongan carier biar ga pegal karena jalan-jalannya jauh. Naik turun jembatan, foto di sana-sini.
- Tak usah bawa tikar (ribet juga mau gelar sebelah mana, hihi).
- Bawa payung/topi, juga pakai sunblock jangan lupa.
- Terdapat pondok makan, kantin.
- Terdapat playground di tengah taman.
- Mushola ada yang berada di area dalam sangat asri hening, bersih, tersedia alat sholatnya.
- Masjid berada di area depan sebelum parkiran persis samping loket masuk.
- Terdapat tenda permanen dilengkapi dengan kawat nyamuk untuk camping, perihal harganya bisa langsung hubungi pusat informasi.
- Karena memang menjual view, lokasi ini sering dipakai pemotretan. Maka jangan heran klo banyak pasangan foto pre-wedding, atau beberapa anak sekolah foto buku tahunan sambil bawa properti kostum/balon.
- Oiya, terdapat pula tanaman bakau yang baru dirilis dengan beberapa papan nama pihak yang menanamnya, seperti nama sekolah, komunitas, klub ekskul, dll. Sepertinya cocok jika mengajak studi wisata ke sana.
Setelah lama berkeliling, foto-foto, naik turun jembatan, kami memutuskan naik kapal boat. Boat dioperasikan oleh petugas, kami tinggal duduk manis, foto, dan juga video dengan kamera ponsel yang semakin low-bat. Kami dipandu ke perairan tengah kawasan pantai. Sambil melihat hutan bakau dari dekat, tambak ikan, mengamati beberapa burung perairan seperti bangau, binatang daratan seperti biawak, udang, juga sampah disposable diapers dan sampah plastik yang akhirnya menyangkut di kipas kapal kami, hiks. Hal ini menyebabkan kami berhenti dulu menunggu petugas menyingkirkannya agar kapal bisa kembali berjalan. Lalu kami melanjutkan dengan makan siang dan sholat dhuhur, kami pun bersegera untuk pulang. Anak-anak tampaknya juga menikmati perjalanan, di mobil mereka tidur sampai tiba dekat rumah. Semoga kita senantiasa menjadi manusia yang menjaga keseimbangan, kebersihan, dan keindahan alam ini dengan sebaik-baiknya.(*)
Referensi:
– pikiran-rakyat.com
– dokumentasi pribadi