
MoMMee.org – Dalam kesempatan ini, tim dari web MoMMee berhasil melakukan tanya jawab dengan narasumber tema parenting ke-ayah-an, yaitu ustd. Bendri Jaisyurrahman. Berikut beberapa pembahasan yang dilontarkan, mari simak yuuuks…
Di era saat ini, sering kita jumpai dalam beberapa tulisan singkat yang beredar mengenai ‘fatherless‘. Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan fatherless.
Fatherless atau ketiadaan AYAH hakikatnya adalah ketika AYAH hanya ada secara biologis namun tidak hadir secara psikologis di dalam jiwa anak. Fungsi AYAH lambat laun menjadi dipersempit kepada dua hal yakni: memberi nafkah dan memberi izin untuk menikah. Sementara fungsi pengajaran atau transfer nilai-nilai kebaikan justru hilang yang mengakibatkan anak tak mendapatkan figur ayah dalam dirinya secara utuh.
Ibarat burung yang terbang dengan dua sayap, ada satu sayapnya yang patah yang akibatkan anak tak mampu nutuk terbang tinggi ke angkasa.
Lalu, apa penyebab kondisi seperti ini? Munculnya fenomena fatherless lebih banyak dikarenakan paradigma pengasuhan yang dipengaruhi oleh budaya lokal. Paradigma ayah dipengaruhi stereotype budaya bahwa laki-laki itu tak pantas urus anak dan tak boleh terlibat dalam urusan pengasuhan. Sementara tantangan pengasuhan setiap masa semakin bertambah. Ditambah lagi kebutuhan materiil masyarakat modern yang makin bertambah yang akibatkan kesibukan bekerja menjadi prioritas hidup demi mengejar segala target yang berkenaan dengan materiil. Sehingga sebagian besar waktu AYAH lebih banyak dihabiskan untuk urusan pekerjaan dan sisanya untuk hibur diri dengan tidur atau main game demi refreshing diri yang lelah saat bekerja. Akhirnya waktu kebersamaan bersama anak berkurang dan cenderung tidak berkualitas.
Hal ini diperparah lagi dengan kondisi kemacetan di jalan ibukota yang membuat AYAH lambat sampai di rumah dan begitu tiba hanya membawa emosi negatif saat berinteraksi dengan anak.
Apa dampak fenomena fatherless ini bagi perkembangan anak? Dampak dari fatherless adalah kondisi kerusakan psikologis yang disebut dengan father hunger. Hal ini mengakibatkan 7 kondisi yang terjadi kepada anak-anak saat ini di antaranya :
- Anak cenderung minder dan rendah diri serta sulit adaptasi dengan dunia luar. Sebab keterlibatan AYAH dalam mengasuh mempengaruhi cara pandang anak terhadap dunia luar yang membuatnya cenderung lebih kokoh dan berani
- Anak memiliki kematangan psikologis yang lambat dan cenderung kekanak-kanakan
- Anak cenderung lari dari masalah dan emosional saat menghadapi masalah
- Terjadinya perilaku seksual yang cenderung menyimpang. Dimana seorang anak lelaki cenderung feminim dan perempuan menjadi maskulin dan berujung kepada perilaku homoseksual
- Kurang bisa mengambil keputusan dan ragu-ragu dalam banyak situasi yang membutuhkan keputusan cepat dan tegas
- Memiliki kesulitan belajar terutama karena fungsi otak besar sebagai pusat berpikir tidak terstimulasi dengan baik. Dan untuk stimulant ini, peran ayah lebih dominan
- Bagi anak wanita, ketiadaan AYAH mempengaruhi perilakunya saat remaja. Dimana ia cenderung gampang jatuh ke pelukan lelaki lain. Inilah awal dari fenomena cabe-cabean. Dan kemudian saat ia menikah cenderung salah dalam memilih laki-laki yang tepat untuk jadi suaminya, Atau kalaupun sudah menikah, saat konflik wanita yang tak punya sosok AYAH dalam hidupnya cenderung memilih untuk menggugat cerai atau selingkuh dengan lelaki lain.
Sedangkan pandangan ustd. Bendri dengan fenomena fatherless yang terjadi di indonesia, maka akan lebih fair jika kita melihat dari “buah” akibat fatherless ini. Dua contoh sederhana yang menjadi indikasi betapa Indonesia mengalami status darurat ayah di antaranya munculnya fenomena cabe-cabean yang dialami oleh remaja ABG wanita akhir-akhir ini. Dan juga munculnya tren wanita menggugat cerai suaminya sebanyak 70% dari total kasus perceraian.
Melihat dua fenomena ini yang cenderung meningkat setiap tahunnya, kita berani katakan kepada setiap AYAH “Dimana dirimu wahai AYAH, saat anakmu masih kecil? Sehingga mereka tak punya tokoh laki-laki yang dicintai sepanjang hidupnya”.
Adapun solusi agar hal ini bisa diselesaikan salah satunya adalah sosialisasi dan kampanye mengenai pentingnya peran AYAH. Alhamdulillah beberapa tahun belakangan ini sudah meningkat seiring dengan perkembangan media yang cepat menginformasikannya. Kemudian yang tak boleh diabaikan adalah pendekatan budaya. Pada dasarnya banyak budaya lokal di sekitar kita yang bisa memberikan contoh bahwa sosok ayah amat berperan dalam pengasuhan. Contohnya budaya Minang, di mana ayah membiasakan anaknya ke surau dan mengajarkan anaknya materi agama selama di surau. Ini budaya masyarakat Sumatera Barat yang harusnya dihidupkan kembali selain juga budaya budaya lainnya.
Selain itu, peran pemerintah dalam membuat kebijakan amatlah penting. Pemerintah bisa membuat kebijakan tentang ayah muda yang bekerja wajib mendampingi istri saat proses kelahiran dan mendapatkan cuti sekaligus biaya pengasuhan. Pemerintah juga bisa membuat sekolah pra-nikah atau sekolah orang tua yang menambah bekal bagi pasangan dalam mengasuh anaknya.
Sedangkan yang bisa dilakukan oleh seorang istri (perempuan) untuk mereduksi fatherless yang utama adalah memberikan kesempatan ayah untuk berinteraksi dengan anaknya. Serta bersabar terhadap proses adaptasi anak bersama ayahnya yang bisa jadi masih kaku. Istri juga bisa mengajak diskusi tentang pengasuhan kepada suaminya ketika kondisi suami sedang nyaman. Selain itu, istri bisa berperan secara tidak langsung mewakili sosok ayah yang hilang dengan banyak bercerita tentang hal-hal positif mengenai ‘si ayah’ kepada anak. Hal ini mempengaruhi cara pandang anak untuk tetap memfigurkan ayahnya.
Jika sang ayah sudah meninggal, keluarga tetap bisa menghadirkan figur ayah dengan belajar dari shiroh Hanna binti Fakhudz istri Imran. Saat Maryam baru lahir, Imran ayahnya Maryam wafat. Maka Maryam segera diasuh oleh Nabi Zakaria sesuai amanah suaminya. Agar tetap muncul sosok ayah di masa kecil. Hal ini pula yang dialami oleh baginda Rasulullah SAW. Di mana peran keayahan di saat beliau kecil, diambil alih oleh kakek dan dilanjutkan ke pamannya yakni Abu Thalib. Hal ini tentu saja dikarenakan begitu vitalnya peran ayah di usia dini.
Islam dalam Alquran secara jelas memberi petunjuk bahwa urusan pengasuhan anak menjadi tanggung jawab ayah. Hal ini disampaikan oleh Allah dalam surat At Tahrim Ayah 6. Di mana ‘kata ganti’ yang dipakai oleh Allah yakni “kum” dikhususkan bagi kaum lelaki agar peduli kepada keluarganya. Selain itu, menurut Sarah binti Halil dalam tesisnya yang berjudul “hiwarul abaa ma’al abna fil quranil karim wa tathbiqotuhut tarbawiyah” disebutkan bahwa Qur’an memuat 17 dialog pengasuhan yang tersebar di 9 surat. Hal ini beliau uraikan bahwa:
- 14 dialog adalah ayah dengan anak
- 2 dialog antara ibu dan anak
- 1 dialog antara ortu tanpa nama dengan anaknya
Hal ini menjadi petunjuk buat kita betapa AYAH seharusnya lebih banyak dialog dengan anaknya dibandingkan ibu dan orang lain.
Terakhir, mengutip pernyataan Ibnul Qoyyim dalam kitab Tuhfatul Maudud:
Betapa banyak orang yang menyengsarakan anaknya, buah hatinya di dunia dan akhirat karena ia tidak memperhatikannya, tidak mendidiknya, dan memfasilitasi syahwat (keinginannya), sementara dia mengira telah memuliakannya padahal dia telah merendahkannya. Dia juga mengira telah menyayanginya padahal dia telah mendzaliminya. Maka hilanglah bagiannya pada anak itu di dunia dan akhirat. Jika Anda amati kerusakan pada anak-anak, pada umumnya berasal dari sisi AYAH. (Tuhfatul maudud bi ahkamil maulud)
Sehingga jelaslah bagi kita betapa kedudukan ayah dalam pengasuhan amatlah vital. Sehingga paradigma pengasuhan yang benar seharusnya adalah: Ibu madrasah pertama seorang anak dan AYAH adalah kepala sekolahnya. Negeri ini membutuhkan AYAH kepala sekolah yang membuat rumah tangga benar-benar berdaya.(*)
Wawancara oleh: Eshu