
MoMMee.org – Sungguh mulia seorang muslim yg menuntut ilmu sebab ilmulah syarat amal diterima. Bahkan, orang-orang yang wafat dalam menuntut ilmu masuk dalam kategori para syuhada, terlebih para ibu yang terus menerus menuntut ilmu untuk menjadi sebaik-baik ibu.
Rasulullah Saw. sering kali menasihati dengan berkisah, dengan isyarat yang tersirat dalam kata-kata. Maka, menjadi seorang ibu yang baik tentu berbeda antara ibu yang satu dengan yang lainnya. Sulit jika harus disampaikan secara gamblang tips dan trik untuk menjadi ibu terbaik sebab seorang anak dilahirkan sangat istimewa, wabil khusus untuk ibunya. Artinya, setiap ibu pasti bisa membesarkan dan membina anaknya dengan cara terbaik jika sang ibu mau belajar.
Peran seorang wanita memanglah sangat dekat dengan dapur, sumur, dan kasur. Namun, apakah hal tersebut membuat seorang wanita tidak boleh menuntut ilmu? Atau sebaliknya. Bagaimana wanita yang berpendidikan tinggi menjalankan perannya sebagai istri dan ibu? Peran utama wanita tentu mengurusi segala pernak-pernik pekerjaan yang ada di rumah, seperti memasak, mencuci, dan lain-lain, dan yang terpenting adalah mendidik dan membina anak-anak. Mengapa demikian? Bukankah itu tanggung jawab suami juga? Ya, betul. Itu semua adalah bagian dari tanggung jawab suami. Akan tetapi, suami sudah mencurahkan segenap daya dan upayanya untuk memenuhi kewajiban MENAFKAHI keluarga. Wanita tak memiliki kewajiban mencari nafkah. Namun, jika wanita bekerja untuk membantu perekonomian keluarga diperbolehkan dan itu dianggap sedekah. Suami sudah habis waktunya di luar rumah dan tak sempat mengurusi pekerjaan-pekerjaan di rumah dengan maksimal. Lalu apakah sang istri masih menunggu suami mengerjakan itu semua? sedangkan tiap detiknya kehidupan kita terus berjalan. Kita butuh makan, butuh pakaian bersih, anak-anak butuh tempat tinggal yang bersih, dan lain-lain. Apakah istri masih terus menunggu suami yang mengerjakan itu semua? Tentu tidak, bagi istri salihah berbagi peran dan membantu meringankn sedikit kewajiban suami adalah sebuah kebahagiaan sebab di sinilah letak kerja sama membangun surga di rumah..
Sebagai wanita, dibutuhkan ketelitian, kegesitan, dan efektivitas waktu dalam mengurus rumah tangga. Bagaimana mungkin tidak, pekerjaan rumah begitu banyak, sedangkan waktu dan tenaga kita terbatas. Oleh karena itu, jadilah wanita CERDAS. Untuk apa wanita sekolah tinggi kalau ujung-ujungnya ke dapur? Justru dengan ilmu yang tinggi wanita bisa semakin cerdas mengelola rumah tangga, mengelola keuangan, dan terlebih mendidik anak-anak sendiri. Semakin cerdas dan tinggi ilmu seorang wanita berarti anak-anaknya akan semakin hebat karena dididik ibu yang ilmunya matang dan mendalam.
Seorang anak dilahirkan untuk disiapkan kehidupan setelah wafatnya. Itu tugas orang tua. Sejatinya memang anak-anak kita lahir sebagai amanah, hadiah, sekaligus ujian untuk kedua org tuanya. Oleh sebab itu, takutlah pada Allah wahai orang tua jika sampai kita membesarkan mereka dengan luka dari kata-kata karena sempitnya hati untuk bersabar dalam ujiannya dan dangkalnya ilmu untuk mendidiknya. Bentakan saja membuat jutaan sel-sel otak anak mati. Apalagi harus berlebihan dalam menilai anak kita yang tersebutlah ia nakal, rewel, cengeng, dll.
Pernah ada seorang ibu yang bertanya bagaimana mendidik anak yg kerjanya nangis terus, nakal, rewel, dan lain-lain? Kemudian ibu itu ditanya kapan anak Anda tidur? Jawabnya jam 9 tidur, jam 12 bangun lalu tidur lagi, jam 3 bangun lagi kemudian tidur lagi.. Kapan nangisnya? Lanjut ditanya. Ibu itu tersenyum malu, kapan yah? Nah, anak2 memang fitrahnya menangis. Toh mereka tidak menangis 24 jam. Dalam sehari anak-anak kita tidak menangis terus, tetapi ada kalanya dia jadi anak yang manis dengan senyumnya, anak yang lucu dengan tingkahnya, anak yang pintar dengan membawakan piring ke dapur dengan hati-hati dan tidak jatuh, dan sebagainya. Orang tua harus menghargai itu. Jangan berlebihan dengan menilai anak nakal, rewel, cengeng, dan lain-lain. Itu semua normal. Tinggal bagaimana orang tua memandang, menyikapi, dan bersabar.
Ketika anak-anak kecil, itulah masa-masa berjuangnya seorang ibu. Perhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak. Anak rewel mungkin ia lapar. Karena itu jika hendak bepergian atau kita tinggal beberapa saat KENYANGKAN dulu perutnya. Siapkan susunya, snack-nya, makanannya dan segala kebutuhannya. Anak-anak akan tenang jika terpenuhi rasa nyamannya. Memang anak-anak seperti raja (untuk anak di bawah 7 tahun). Ia butuh dilayani dengan pelayanan maksimal. Bahkan, pada sebuah majelis rasulullah, para sahabat mengincar sisa air minum rasulullah karena rasa cintanya pada rasulullah. Namun, rasulullah justru memberikan sisa air minumnya kepada seorang anak kecil yang kelak anak tsb menjadi anak yg banyak sekali menghapalkan hadits rasulullah. Kita mengenal anak itu dari kumpulan hadits-hadits shahihnya, beliau adalah Anas bin Malik.
Begitulah bahasa rasulullah dalam mendidik para sahabat dan anak-anak dengan teladan, dengan memuliakan anak-anak. Di lain kesempatan rasulullah juga kerap memeluk, mencium, dan berbicara dengan mensejajarkan tubuh dan tatapan dengan anak-anak. Di sinilah pondasi kecintaan, penghormatan, dann kepercayaan anak-anak dibangun dengan orang tua. Sebab orang tua menjadi sosok yang paling dekat dengan anak-anaknya sehingga orang tua bisa menyiapkan anak-anaknya tumbuh menjadi dewasa dengan kematangan iman dan pikiran. Siapkan anak-anak untuk menjadi penjaga-penjaga dienullah, insyaAllah Allah akan menjaganya dalam amal salih.
Apakah orang tua tidak boleh marah dengan anak? Hal yang sulit dilakukan adalah menyembunyikan rasa marah pada raut wajah. Sebagai manusia, rasa marah bisa saja ditemui saat hati tak cukup kuat menahan diri. Ketika anak melakukan hal-hal yang membuat kita marah, dekati ia, rendahkan tubuh kita untuk mensejajarkannya, tatap matanya, pegang bahunya, dan katakan “Nak, ibu tidak suka kalau kamu…”. Anak perlu tahu bahwa tidak semua hal yang ia lakukan dimaklumi atau membuat orang lain senang. Adakalanya ia harus menghadapi orang-orang yang tidak suka dengan perbuatanya sehingga anak akan belajar mana hal yang boleh dilakukan, mana yang tidak boleh. Mana yang orang lain sukai, mana yang tidak. Perlahan kita membangun karakter dan kecerdasan mentalnya.
Ada sebuah kisah nyata yang hadir di zaman ini. Seorang istri yang berkeluh kesah karena sudah sekian lama pernikahannya belum pula dikaruniai anak. Selain itu, setiap pulang kerja suaminya selalu mampir ke rumah orang tuanya yg tak jauh dr rumahnya. Saat malam tiba barulah suaminya pulang ke rumah sang istri. Hingga pada suatu hari sang istri diam-diam mengikuti suaminya ke rumah orang tuanya, dan apa yang terjadi? Ternyata suaminya masih menyusu pada ibunya!
Kita tidak ingin anak-anak kita seperti bayi basar. Fisiknya tumbuh besar, namun mental dan pikirannya seperti bayi. Orang tua yang bertanggung jawab menyiapkan anak-anaknya siap menghadapi dunia. Orang tua yang bertanggung jawab menyiapkan anaknya menjadi seorang suami dan menjadi seorang istri dengan berbagai bekal, kemampuan, dan ikhtiar. Doakan setiap hal dari anak-anak kita. Mudah-mudahan kita semua menjadi orang tua yang menyadari setiap kekurangan diri lalu memperbaikinya di tengah setiap ikhtiar dan diiringi terus dengan doa dan belajar, belajar, dan teruuuusss belajar.. Insya Allah..
**Ditulis dari Intisari Ceramah Jaulah Ustadzah Wirianingsih, 23 November 2014