
MoMMee.org – Seberapa sering Momees mendengar pameo, “Di belakang Lelaki hebat, pasti ada wanita yang hebat pula?” Sepertinya sering sekali ya? Nah, belakangan ini mampir ke lini masa sosial media saya, separagraf sharing dari seorang teman bernama Sari, seperti yang saya quote di bawah ini. Membacanya, hmm.. bagaimana ya rasanya. Persis seperti bunyi tumisan kangkung yang ditambahkan air, “Cessss…”
“Faktor utama melejit atau tenggelamnya potensi seorang perempuan setelah pernikahan adalah keputusan dan tindakan suami.
Kita tentu sering mendengar bahwa di balik laki-laki sukses ada perempuan hebat. Sesungguhnya, di balik perempuan sukses pun ada laki-laki bijak.
Jika semua laki-laki dan perempuan bisa bersinergi dengan baik, maka sesungguhnya yang ada di dunia ini hanyalah laki-laki dan perempuan sukses..”
-Sari A. Rahmawati-
Buat saya, perkataan Mbak Sari diatas, jauh lebih sempurna menggambarkan bagaimana relasi lelaki perempuan dalam pernikahan. Eh tapi ini buat saya loh, Mommees pasti punya value masing-masing yang dianut, tidak masalah! 🙂
Sedikit berbagi, saya dibesarkan oleh seorang Ibu tunggal mulai dari usia 7 tahun hingga menikah di usia 19 tahun. Ups, bahkan sepertinya setelah saya menikahpun, Ibu masih memiliki dampak parenting yang besar dalam diri saya. saya sejak kecil terbiasa melihat Ibu sebagai sosok perempuan yang mandiri. Mencari uang? Ibu saya melakukan. Menyetir mobil? Beliau jagonya. Memasak? Saya masih ingat kegiatan rutin kami mengulek sambal lalu makan langsung dari cobeknya. Ya, Ibu saya menjadi representasi seorang wanita di benak saya : kuat, tidak ketergantungan, dan memiliki kontrol penuh atas hidupnya.
Tantangan saya ternyata datang setelah menikah. Suami saya berasal dari keluarga lengkap yang cukup “patriarki“. Di keluarganya, lelaki adalah pengambil keputusan tertinggi. Terlebih, seluruh anak di keluarganya tidak ada yang berjenis kelamin perempuan. Jadilah, ibu mertua saya tak punya banyak andil dalam keputusan-keputusan keluarga.
Bisa dibayangkan bagaimana clashnya latar belakang kami berdua? Saya ingat sekali di tahun pertama menikah, saya begitu pusing karena adanya keharusan bertanya pendapat sebelum mengambil keputusan. Sedangkan suami saya cenat cenut menghadapi istri yang kerap ikut kegiatan ini itu ga pakai izin, dan cuma pemberitahuan “Aku sabtu ini training yaaa..”
Sampai akhirnya kami duduk berdua. berbincang panjang tentang uneg-uneg yang selama ini disimpan di dalam hati. Ooops.. akhirnya saya paham, kenapa suami saya suka merasa gemes kalau saya banyak keluar rumah, sebab yang beliau tangkap adalah, “Ini istri sengaja banget ya gak mau nurut?” Padahal oh padahal, setiap ambil keputusan sendiri, saya selalu menepok jidat, “Laahh, kok gue lupa lagi buat izin duluuuu..” Begitulah 😀
Solusinya? Akhirnya kami menyepakati area-area apa yang menjadi “kekuasaan” saya untuk bebas ambil keputusan tanpa perlu konfirmasi ke suami. Dan ada area tertentu yang memang strict harus melalui beliau sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Misalnya saja untuk kegiatan yang ada saat weekdays, saya bebas mengikuti asalkan jelas bagaimana mekanisme penitipan anak kami, ke daycare kah atau dengan si Mbak kah. Sedangkan untuk weekends, mutlak harus dibicarakan berdua terlebih dahulu. Sounds like a win-win solution, right? 😉
Namun lebih dari itu, poin penting dari diskusi panjang kami adalah kami ingin menghormati kebutuhan serta keinginan masing-masing kami untuk beraktualisasi, entah mengikuti seminar, mengisi training, ikut proyek dosen, dan sebagainya. kami menyepakati bahwa pernikahan adalah lembaga yang seharusnya saling melejitkan, memberdayakan, dan menumbuhkembangkan satu sama lain. Karena sudah tentu di akhirat nanti, suami sebagai Imam akan ditanya oleh Allah, bagaimana ia memahami potensi istri kemudian memberikan ruang bagi istrinya untuk berdaya. Sebagaimana Allah akan bertanya pada sang istri, bagaimana tanggung jawabnya terhadap rumah, serta bagaimana ia memperluas kebermanfaatannya untuk masyarakat. Persis seperti quotes dari Mbak Sari, “Jika semua laki-laki dan perempuan bisa bersinergi dengan baik, maka sesungguhnya yang ada di dunia ini hanyalah laki-laki dan perempuan sukses..”(*)