
MoMMee.org – Membeli rumah tentu membutuhkan biaya tidak sedikit, terlebih harga rumah saat ini semakin melangit. Akan tetapi, pembelian rumah tidak selalu harus tunai. Ada juga sistem pembelian secara cicilan dengan mengajukan permohonan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) ke bank.
Setiap bank memiliki kebijakan berbeda dalam mengabulkan permohonan KPR calon nasabahnya. Namun, langkah-langkah yang ditempuh dalam mengajukan KPR di bank konvensional dan bank syariah hampir sama, meliputi pengisian formulir data diri dan besarnya pinjaman dana yang diajukan, mengumpulkan berkas-berkas seperti fotokopi kartu keluarga, fotokopi KTP pasutri, fotokopi surat nikah, slip gaji selama tiga bulan terakhir, fotokopi NPWP, surat keterangan kerja dari kantor, rekening koran tiga bulan terakhir, pas foto, dan beberapa surat keterangan lainnya.
Setelah berkas-berkas tersebut diterima, pihak bank akan melakukan pemeriksaan tahap selanjutnya yaitu BI checking. Melalui BI checking ini, bank akan mengecek apakah pemohon pernah tersangkut kredit macet atau tidak di bank lainnya. Jika ada, maka permohonan KPR DITOLAK. Namun, jika bersih dari catatan kredit macet, tahapan berikutnya adalah survei rumah. Salah satu syarat KPR juga yaitu akses menuju rumah yang akan dibeli harus bisa dilalui mobil.
Pihak bank akan mengirim utusannya untuk mensurvei langsung rumah yang akan dibeli calon nasabah apakah kondisi bangunan dan lokasinya sesuai dengan nominal pinjaman yang diajukan pemohon atau tidak. Hasil survei ini akan dijadikan bahan pertimbangan bank dalam menentukan besarnya dana pinjaman yang akan diberikan ke pemohon sebab bank tidak selalu mengabulkan permohonan pinjaman sesuai yang diajukan calon nasabah.
Setelah hasil survei keluar, calon nasabah dipanggil ke bank untuk dikabari berapa besar pinjaman bank yang akan diberikan. Biasanya bank bisa memberi pinjaman hingga 80% dari total pinjaman yang diajukan calon nasabah. 20%nya disebut uang muka atau DP yang dibayar oleh calon nasabah. Misalnya, pinjaman yang diajukan pemohon 400 juta, maka bank bisa memberikan pinjaman hingga 320 juta atau 80% dan 80 juta atau 20% dibayar nasabah ke penjual rumah sebagai uang muka. Bank yang akan membayarkan 320 juta ke penjual rumah dan nasabah tinggal mencicil ke bank untuk melunasi sampai batas waktu tertentu. Akan tetapi, nasabah harus berbesar hati jika bank hanya menyetujui pembiayaan rumah di bawah nominal yang diajukan. Hal itu terjadi karena bank mempertimbangkan besarnya pendapatan pemohon yang bisa dipakai untuk mencicil dan nilai taksiran rumah berdasarkan hasil survei. Sering kali nilai taksir harga rumah dari hasil survei bank di bawah harga jual rumah. Dua hal tersebut yang cukup memengaruhi bank dalam menentukan besarnya pinjaman.
Pada bank konvensional, bank bisa saja menerima pengajuan KPR dengan cicilan lebih kecil dari sepertiga gaji nasabah, tetapi suku bunga yang berlaku mengikuti suku bunga BI rate sehingga di tahun-tahun mendatang bisa jadi suku bunga yang ditetapkan sangatlah tinggi. Ini berbahaya bagi nasabah karena nasabah bisa terlilit cicilan yang sangat besar tiap bulannya dan pada kondisi kronis bisa sampai tidak bisa membayar cicilan bahkan kemungkinan besar bisa juga tidak bisa melunasi utang di bank. Akibat fatalnya rumah yang dibeli bisa saja disita bank. Di samping itu, tentu saja bayang-bayang riba selalu menghantui karena jelas riba merupakan hal yang dilarang Allah dalam muamalah.
Nasabah sebaiknya tidak mudah tergiur dengan iming-iming promosi suka bunga yang rendah dan periode cicilan yang bisa mencapai 25 tahun yang ditawarkan bank konvensional. Dua hal tersebut merupakan senjata bank konvensional untuk menarik nasabah baru. Padahal, nyatanya promosi suku bunga hanya berlaku setahun, itu pun di tahun-tahun awal nasabah membayar cicilan pada skema pengembalian pinjaman besarnya cicilan yang masuk ke bank lebih banyak dimasukkan ke pos suku bunga yang menjadi profit bank. Hal ini terjadi karena pada skema pengembalian pinjaman di bank konvensional terdapat dua pos yaitu pos suku bunga dan pos pinjamana pokok. Di tahun2 awal, pembayaran cicilan nasabah lebih besar dimasukkan ke pos suku bunga untuk menutup profit bank terlebih dahulu sehingga besarnya pokok pinjaman masih saja besar meski sudah bertahun2 mencicil. Mengapa hal ini terjadi? Karena bank tidak mau rugi jika nasabah take over ke bank lain padahal baru beberapa tahun mencicil sehingga dikhawatirkan profit bank sangat kecil. Ketika menginjak pertengahan atau satu pertiga terakhir masa cicilan habis, cicilan yang dibayarkan nasabah baru masuk ke pos pelunasan pinjaman pokok. Oleh karena itu, ketika nasabah take over ke bank lain beberapa tahun awal setelah mencicil di bank konvensional, pinjaman pokoknya tidak jauh berbeda dari saat awal meminjam sehingga mau tidak mau nasabah harus tetap bertahan KPR di bank konvensional meski dengan suku bunga yang kian mencekik. Itulah kelebihan dan kekurangan bank konvensional. Apa pun kelebihannya bank konvensional tetap saja menggunakan sistem bunga yang menyebabkannya riba dan sampai kapan pun hal itu tidak dibenarkan dalam hukum Islam dan bisa saja mengurangi keberkahan transaksi kita di mata Allah.
Sebaliknya, pada bank syariah periode cicilan maksimal sampai 15 tahun saja sehingga cicilan yang dibayarkan nasabah tiap bulan relatif agak lebih besar. Namun, kelebihannya bank syariah menetapkan margin (profit bank) yang flat atau tetap dari tahun pertama hingga tahun terakhir cicilan karena tidak berdasarkan suku bunga BI rate. Hal ini membuat nasabah lebih tenang karena cicilan tiap bulan bisa diperhitungan secara pasti dari pendapatan. Selain itu, bank syariah biasanya menetapkan cicilan yang dibayarkan nasabah tidak boleh lebih dari sepertiga gaji atau maksimal 40% dari gaji. Hal ini ditetapkan karena bank mempertimbangkan pengeluaran tiap bulan nasabah. Jangan sampai cicilan ke bank membuat nasabah kesulitan memenuhi kebutuhan sehari2 atau sebaliknya alokasi pengeluaran cukup besar membuat pos keuangan yg seharusnya ditujukan untuk cicilan terpakai sehingga tidak bisa mencicil KPR di bank. Dan yang lebih menentramkan lagi, bank syariah telah berupaya sedemikian rupa untuk tidak menerapkan riba sebagai salah satu bentuk ketaatan pada perintah Allah, meskipun dalam kenyataannya tidak sepenuhnya bisa lepas dari sistem perbankan secara umum. Akan tetapi, setidaknya ikhtiar-ikhtiar yang dilakukan bank syariah untuk menjaga diri dari riba selangkah lebih dekat dengan nilai takwa.
Untuk itu, sebelum memutuskan KPR di bank mana, ada baiknya survei terlebih dahulu ke beberapa bank. Jika hati ini tak cukup yakin untuk memutuskan mengajukan KPR ke bank konvensional atau bank syariah, silakan pelajari satu per satu sistem kedua jenis bank tersebut dan komparasikan.
Untuk mempercepat proses pengajuan, ajukan permohonan KPR ke beberapa bank secara bersamaan. Kita akan bisa melihat bank mana yang lebih cepat, mudah, dan available dengan kondisi kita. Proses menunggu sampai permohonan kita mendapat jawaban pasti dari bank minimal membutuhkan waktu dua minggu sampai sebulan bahkan hingga berbulan-bulan. Meskipun bank menjanjikan bisa selesai dalam seminggu, tetap saja dalam proses perjalanannya sering kali menemui kendala dan butuh waktu untuk menyelesaikannya.
Calon nasabah juga harus kritis. Jangan langsung puas dengan paparan yg dijelaskan customer loan service di bank. Buat daftar pertanyaan dari rumah sebelum pergi ke bank. Ketika customer loan service menjelaskan seluk-beluk KPR, jangan sungkan untuk bertanya detail, kalau perlu minta data dan simulasi, catat, dan pelajari lagi di rumah.
Calon nasabah harus punya ketegasan sikap, berhati-hati dalam bertindak, dan kejelian. Sebab akan ada banyak bentuk hal-hal persuasif yang membuat kita mudah tergiur dan bingung ketika sudah menjalani. Jadilah nasabah cerdas sehingga setiap hal bisa diatasi dengan logis, bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, dan tentu saja dipertanggungjawabkan di hadapan Allah yg Mahaadil.
So, selamat ber-KPR dengan keputusan yang matang dan berakhir dengan kebahagiaan penuh keberkahan.(*)