
MoMMee.org – Seseorang yang telah menikah, disadari atau tidak, mau atau tidak, ia sudah berdiri sendiri sebagai bagian dari sebuah entitas yang disebut masyarakat. Sebab, ia bukan lagi bujangan yang terkadang agak abai dengan segala aktivitas kehidupan bertetangga dan bermasyarakat.
Seorang yang sudah menikah dan hidup di tengah-tengah masyarakat seyogianya bisa turut serta berbaur bersama para tetangga untuk bersama-sama membangun masyarakat yang taat pada Allah, solid, dan sejahtera. Bagaimana mungkin seorang tetangga yang kelaparan atau sakit bisa diketahui jika bertegur sapa saja tidak antartetangga, apatah lagi sekadar silaturrahmi ke rumahnya. Padahal baik tidaknya masyarakat menjadi tanggung jawab warga sekitarnya, bukan warga di desa seberang, atau keluarganya yang nan jauh di sana. Misalnya saja, jika ada tetangga yang wafat siapa yang akan turut bertanggung jawab memandikan, mengafani, dan menguburkan jenazah? Atau jika kita sakit siapa orang yang pertama kali menolong? Apakah keluarga kita nan jauh di sana? Tidak. Tentu tetangga terdekatlah yang datang membantu dan meringankan beban kita. Oleh karena itu, tidaklah heran jika kondisi masyarakat menjadi cermin bagi kondisi bangsa secara umum. Sebab pilar-pilar suatu bangsa disokong oleh masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya.
Mengingat besarnya peran tiap individu sebagai satuan terkecil masyarakat baik, dalam menjalankan ketaatan beragama maupun kehidupan sosial secara bersama-sama, alangkah baiknya jika setiap individu, terlebih lagi yang sudah berkeluarga, turut mengambil peran dalam menghidupkan harmonisasi bertetangga. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah agar masyarakat solid dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran serta tidak bersikap individualistis.
Di mana pun kita tinggal, mari kita mulai mengenal dan memperkenalkan diri kita pada tetangga sekitar. Dimulai dari silaturrahmi ke ketua RT beserta suami dan anak untuk memperkenalkan diri dan menyerahkan identitas diri, baik fotokopi KTP, kartu keluarga, dan jika perlu fotokopi buku nikah. Sebab, Pak RT-lah yang bertanggung jawab atas warganya di lini masyarakat paling dasar.
Jika sudah silaturrahmi ke Pak RT, ada baiknya juga kita keliling silaturrahmi ke tetangga-tetangga untuk sekadar memperkenalkan diri dan menyapa agar para tetangga mengetahui ada warga baru (jika baru saja pindah rumah) dan tidak sungkan menyapa ketika lewat di depan rumah kita atau bertemu di jalan. Untuk lebih mengenal warga sekitar, kita bisa juga mengikuti arisan, pengajian, atau kerja bakti RT. Kegiatan-kegiatan bersama semacam ini dapat menguatkan soliditas, kekompakan, dan rasa kekeluargaan antarwarga. Oleh karena itu, tak perlu ragu untuk ikut acara-acara di lingkungan tempat tinggal agar kita pun “diakui” sebagai bagian dari warganya.
Selain dari kegiatan-kegiatan bersama, warga sekitar juga bisa mengenali seseorang sebagai warganya atau tidak dari intensitas sering tidaknya salat berjamaah di masjid, khususnya untuk kaum adam. Semakin sering ditemui warga di masjid di waktu-waktu salat, maka warga pun akan mengenal dan hapal dengan orang tersebut. Bahkan, jika orang tersebut tidak ke masjid sekali saja, warga merasa kehilangan dan mencari-carinya.
Tak perlu kita ngoyo ingin menjadi imam salat atau posisi lainnya yang membuat kita bisa dikenal warga. Dengan rajin salat ke masjid saja, insyaAllah warga melihat, mengamati, dan mengingatnya. Jika warga sudah semakin dekat dan percaya, bisa saja warga menunjuknya sebagai imam. Karena bukan tidak mungkin di suatu masyarakat sangat menjunjung tinggi sesepuh yang ada di lingkungan tempat tinggalnya untuk terus dan terus menerus menjadi imam salat di masjid meskipun bacaan alquraanya kurang baik. Maka, sebagai pendatang baru sebaiknya tidak bersikap arogan untuk langsung menggantikan posisi imam tersebut. Namun, istiqomah salat berjamaah di masjid, sikap yang santun, dan pakaian yang rapi (memakai baju koko, kopiah, dan sarung) akan cukup membuat masyarakat percaya bahwa anak muda pun bisa memimpin salat berjamaah dan tentu saja bacaan alqurannya harus lebih baik. 🙂
Aktivitas lain yang juga tak kalah efektif dalam mempererat hubungan baik dengan tetangga adalah berbagi makanan. Bukankah rasulullah mengajarkan untuk memperbanyak masakan yang kita buat, minimal memperbanyak kuahnya agar bisa berbagi dengan tetangga, terlebih jika sampai tetangga menghirup aroma masakan kita. Tidak ada salahnya kita membuat program keluarga berbagi makanan tiap dua pekan sekali atau sebulan sekali agar anak-anak pun terbiasa berbagi dengan sesama. Makanan yang dibuat tak perlu yang susah, bisa makanan sederhana, seperti pisang goreng, puding, bubur kacang hijau, dan lainnya untuk dibagikan ke tetangga. Jika di rumah repot, bisa juga kita membeli makanan jadi di luar. Akan tetapi, tentu biasanya agak lebih mahal jika membeli makanan jadi, kecuali jika kita berniat membantu tetangga lain juga yang tengah membuka bisnis makanan ringan rumahan. Kita bisa memesan makanan beliau dan membagikannya ke tetangga.
Hal lain yang bisa dilakukan untuk menjalin keakraban dengan tetangga adalah dengan cara sering-sering membuka pintu rumah kita lebar-lebar sehingga tetangga tidak sungkan menyapa atau sekadar mampir. Bahkan, kalau bisa kita buat taman bacaan atau tempat bermain edukatif kecil-kecilan untuk sahabat kecil kita di sekitar rumah. Bisa juga kita membantu putra-putri tetangga yang kesulitan memahami pelajaran dengan acara belajar bersama sehingga hal ini diharapkan bisa membantu tetangga pula.
Apa pun upaya yang kita lakukan untuk menjadi tetangga dan warga yang baik, yang terpenting adalah menyertakan Allah sebagai tujuan tertinggi karena jika bukan karena-Nya akan sangat mudah kecewa jika hasil yang diperoleh tak sesuai ekspektasi atau medan yang ditempuh tak semudah bayang-bayang.
Semoga kita semua menjadi sebaik-baik tetangga dan sebaik-baik ummat.. Aamiin.(*)