
MoMMee.org – Melihat anak-anak yang sudah menyelesaikan hafalan qurannya di usia dini banyak orang yang terkagum-kagum dan mengatakan Subhanallah. Kapan saya bisa begitu? Kapan anak saya seperti itu?
Kalimat ‘Kapan saya atau kapan anak saya begitu’ sepertinya menjadi kalimat-kalimat mimpi karena tak sedikit orang yang mengatakan demikian, tetapi nyatanya tak ada upaya yang signifikan dalam mewujudkannya. Banyak orang yang memiliki niat untuk menghafal quran atau menjadikan anak-anak mereka bagian dari penghafal Qur’an, tetapi seberapa besar dan seberapa kuat niat itu tidak ada alat ukurnya. Coba saja tanyakan pada perampok apakah mereka ingin masuk surga? Jawabannya iya. Coba tanyakan apakah kita mau masuk surga? Jawabannya iya.
Niat saja tidak cukup mengantarkan anak-anak kita dan kita hafal alQur’an sebab niat saja semua orang bisa. Hal yang membedakannya adalah upaya yang sungguh-sungguh untuk sampai ke proses yang sebenarnya. Yang membedakannya adalah seberapa kuat kita ber-TAHAN untuk terus dan terus menghafal Qur’an apa pun kendalanya. Menghafal alQur’an bukanlah perkara hasil: anak saya jadi Hafizh. BUKAN. Karena sejatinya menghafal Qur’an itu proses yang teruuuusss berlanjut apa pun yang terjadi. Itulah proses.
Ahsan sekarang sudah selesai 30 juz itu adalah sedikit penampakan saja karena di balik itu semua tentu ada proses yang sangat panjang yang dilalui Ahsan dan orang tuanya.
Tak jarang orang tua berpikir “wah dia sudah hafal al Qur’an dan hidupnya sukses” lantas banyak orang tua berbondong-bondong memasukkan anaknya ke sekolah yang menjunjung “label” pelajaran utamanya menghafal Qur’an. Kemudian muncul sebuah permasalahan baru, “anak saya di sekolah hafalannya banyak dan nilai tahfizhnya bagus-bagus tapi kenapa di rumah tidak mau mengaji?” atau “ustadz bagaimana membuat program tahfizh pada saat liburan karena anak saya di pesantren mau mengahafal banyak tapi kalau liburan di rumah tidak mau mengaji?” Nah, pasti ada yg salah. Entah motivasi awalnya, entah niatnya, entah dorongan orang tua, entah mindset yang dibangun pada anak bahwa metapi menghafal al Qur’an adalah seperti belajar pelajaran lain di sekolah sehingga harus sungguh-sungguh agar nilainya bagus. Bisa saja niat-niat itu yang terselip sehingga ketika tiba libur sekolah anak merasa “bebas” dari tekanan” menghafal al Qur’an.
Motivasi yang harus ditumbuhkan untuk mengahafalkan al Qur’an adalah orientasi akhirat, bukan sukses di dunia. Orang tua juga orientasinya harus dijaga, BUKAN seberapa CEPAT anak kita hafal al Qur’an TAPI seberapa KUAT orang tua dan anak tetap menghafal al Qur’an.
Orang tua tidak harus lebih pandai dari anak tapi SEMANGAT belajarnya harus SAMA, bahkan harus lebih kuat dari anak karena orang tua pembimbingnya.
Kecepatan untuk selesai bisa beda-beda tapi yang harus sama adalah kesabaran dan semangatnya.
Oleh karena itu penting mencermati Hadist Rasulullah bahwa belajar iman sebelum al Qur’an itu harus didahulukan dalam prosesnya sehingga ketika belajar al Qur’an bertambahlah keimanannya. Sampaikan iman dengan bahasa yang sesederhana mungkin untuk anak lalu KAITKAN dengan AKHIRAT sehingga anak dan orang tua memiliki orientasi yang sama, orientasi yang jauuuhhh melebihi kekuatan apa pun yang bisa menggoyahkannya. Karena orientasinya kekal.
Mempelajari al Qur’an itu tidak bisa instan, butuh proses. Hentikan menyuguhi anak hal-hal instan. Tontonan hal-hal yang menampakkan kesenangan tanpa diberitahu latar belakang bersusah-susah sebelum itu hanya membuat anak berangan-angan saja, sinetron contohnya. Atau saat ini sedang marak aktivasi otak tengah yang konon membuat cerdas anak dalam sekejap seperti menekan tombol on/off. Ini juga perlu diperhatikan dengan seksama. Karena menghapfal al Qur’an bukan hanya memindahkan al Qur’an pada kepala kita tetapi juga butuh hati yang menyerap sehingga kadar keimanan kita semakin menguat. Yang dibutuhkan bukan bagaimana anak saya mau menghafal al Qur’an, tetapi yang paling utama adalah bagaimana mencintakan anak pada al Qur’an.(*)
Resume Talk Show Ahsan Fadhil Ilahi Al-Hafizh
Tanggal: 7 Feb 2016
Narasumber: Ust. Arham, Lc.
Oleh: Dewi Lestari