
MoMMee.org – Mommes pernah mengenal nama Haji Agus Salim? Mari berkenalan dan cari tahu lebih lanjut bagaimana orang hebat ini mendidik anaknya.
Beliau adalah salah seorang penggerak kemajuan bangsa Indonesia kelahiran Bukit Tinggi. Dimulai dari menuangkan pikirannya dalam dunia jurnalis, lalu bergabung dengan sarekat islam (SI) sebagai salah satu pimpinan, partai islam terbesar yang pernah ada dalam sejarah Indonesia yang juga mampu mengingkatkan kesejateraan ekonomi bagi anggotanya.
Ia dikenal dengan penanya yang pedas dan kritikannya yang tajam. Dijuluki sebagai “Orang Tua Besar” (The Grand Old Man) julukan itu didapat sebagai penghargaan atas pengaruh dan kontribusi besarnya terhadap pembentukan bangsa indonesia di masa itu. Ia pandai berdebat dan memiliki pengetahuan yang luas. Hatta menjulukinya Salim op zijn best (salim adalah orang hebat dan terbaik).
Pada masa kecilnya, ia adalah siswa terbaik se asia tenggara, tidak dapat melanjutkan sekolahnya karena permohonan beasiswanya ke belanda di tolak oleh pemerintah belanda. kemudian beliau mendapat kesempatan bekerja sebagai penerjemah di Arab Saudi. Beliau bekerja sambil belajar agama dengan imam masjidil haram Syekh Ahmad Khatib yang juga pamannya sendiri. Beliau juga belajar cara berdiplomasi yang baik. Ia kembali ke tanah air dengan menguasai 7 bahasa, tidak termasuk Bahasa Melayu yang sangat baik ia kuasai dengan indah.
Perhatian Agus Salim kepada dunia pendidikan sangat tinggi. Ia mendirikan sekolah di kampong halamannya. Walaupun sibuk luar biasa, beliau menyempatkan diri untuk bercengkrama dengan istri dan 8 anaknya. Seluruh keluarganya di wajibkan mengikuti pelajaran yang ia berikan setiap hari. Pelajarannya mencangkup baca-tulis, Bahasa, budi pekerti, dan agama.
Ketika masih penganntin baru, ia berpesan kepada istrinya agar rajin membaca dan berdzikir karena ia berencana untuk mendidik sendiri anak-anaknya. Ia tidak memasukkan anak-anaknya ke sekolah karena ingin anak-anaknya tidak terpengaruh pikiran dan kebudayaan kaum penjajah. Ia juga ingin membentuk kepribadian anaknya sesuai keinginannya sendiri. Sikap kritis sangat dikembangkan oleh beliau. Ia tidak marah bila ada anak yang membantah pendapatnya asalkan dengan alasan yang tepat.
Dalam buku Menyingkap Tirai Sejarah (Penerbit Kompas, 2012) yang ditulis Asvi Marwan Adam, diceritakan bahwa Agus tidak menentukan jam belajar dan bermain kepada anak-anaknya. Setiap ada kesempatan, ia menggunakannya untuk mendidik mereka. Ia paham betul cara untuk membuat anaknya selalu ingin tahu dan mengajarkan di mana mereka bisa memuaskan keingintahuan itu. Kuncinya adalah MEMBACA BUKU.
Ketika masih berusia 20 tahun, Mohammad Roem (kelak tokoh Masyumi dan beberapa kali menjabat menteri di era Soekarno) sering berkunjung ke rumah Agus Salim. Roem menyaksikan bagaimana homeshooling itu diterapkan oleh Agus.
Syaukat, anak Agus Salim yang berumur 4 tahun, ke luar kamar tidur dan minta punggungnya digaruk oleh sang bapak. Syaukat yang masih balita itu berbicara dalam bahasa Belanda yang fasih. Tak heran, Agus Salim memang membiasakan anak-anaknya berbahasa Belanda sejak masih balita.
Dolly, putri sulung Agus Salim yang berusia 15 tahun, mencatat sejarah dengan memainkan piano saat lagu Indonesia Raya diperdengarkan dengan biola oleh W.R. Supratman pada 28 Oktober 1928. Sejak umur 6 tahun, Dolly sudah membaca buku detektif dalam bahasa Belanda. Roem juga melihat Totok, adik Dolly, sedang membaca kisah epos Mahabarata dalam bahasa Belanda.
Jef Last, jurnalis dan aktivis sosial Belanda, pernah sangat takjub dan kaget dengan kondisi keluarga Agus Salim. Jef pernah bertanya kepada Agus tentang Islam Salim (salah satu putra Agus Salim) yang mahir bahasa Inggris, padahal tak mengenyam sekolah.
Apa jawaban Agus Salim? ”Apakah Anda pernah mendengar tentang sebuah sekolah tempat kuda belajar meringkik? Kuda-kuda tua meringkik sebelum kuda-kuda muda meringkik. Begitu pun saya, meringkik dalam bahasa Inggris dan putra saya (Islam) juga meringkik dalam bahasa Inggris,” tegasnya.
Dari kisah yg dituturkan oleh Moh. Roem tampak bahwa Agus Salim beberapa kali berpindah rumah semasa di Batavia, semuanya rumah yang sederhana. Hanya satu kamar yg dipakai oleh keluarga, ruangan yg lebih besar justru digunakan untuk diskusi. seorang pemuda lain, Kasman Singodimedjo, yg juga sering bertamu ke rumah beliau, Agus Salim pernah berkata, “Leiden is lijden “, artinya memimpin itu menderita. Tidak ada warisan yg berlimpah yg diturunkan kepada putra-putrinya, kecuali ILMU dan sikap merdeka yg diajarkan melalui homeschooling.
Demikian sedikit cerita tentang pendidikan yang dilakukan oleh Agus Salim terhadap anak dan istrinya. Dalam usaha memerdekakan Indonesia dan pekerjaan besar lainnya, rasanya pendidikan anak-anaknya banyak juga di lakoni sang istri. Namun tak tertulis dalam buku-buku. Sedikit kata tentang belajar dan membaca buku yang dipesankan oleh agus salim di artikel di atas mungkin bisa jadi pesan untuk kita semua para ibu.
Semoga artikel ini bisa bermanfaat bagi para mommees dalam mendidik anak-anaknya.(*)